regional
Langganan

Menyingkap Makna Prastasti China di depan Masjid Pekojan Semarang - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia | Espos.id

by Ponco Wiyono  - Espos.id Jateng  -  Selasa, 17 Januari 2023 - 17:35 WIB

ESPOS.ID - Seorang warga melintas di depan prasasati bertuliskan aksara China di Jalan Petolongan, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, atau tepatnya di depan Masjid Pekojan, pekan lalu. (Solopos.com-Ponco Wiyono)

Esposin, SEMARANG -- Kota Semarang memiliki latar belakang sejarah yang diwarnai banyak akulturasi budaya. Sebagai kota perdagangan, Kota Lumpia pada masa lalu juga dihuni banyak bangsa pendatang. Salah satu buktinya adalah penanda berbentuk prasasti bertuliskan aksara China yang terpampang di depan Masjid Pekojan Semarang. Lantas, apakah makna prasasti bertuliskan aksara China di depan Masjid Pekojan itu?

Warga yang melintas di Jalan Petolongan, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah pastinya sudah tidak asing dengan bingkai tatahan setinggi lutut yang terukir di tembok di depan Masjid Pekojan.

Advertisement

Menurut pemerhati sejarah Kota Semarang, Johanes Christiono, penanda di depan Masjid Pekojan Semarang itu bukan sekedar hiasan semata, melainkan sebuah prasasti penolak bala untuk menolak segala macam marabahaya.

Menurut penulis buku Semarang Dalam Lorong Waktu ini, tulisan berwarna emas berbingkai merah itu adalah Prasasti Tolak Bala. “Dulu di sana adalah area kuburan orang Tionghoa. Namun karena permukiman terus tumbuh, akhirnya permakaman dipindahkan meskipun prasasti tolak bala masih dipertahankan,” katanya, Sabtu (14/1/2023).

Sementara itu, daerah Pekojan sebenarnya merupakan istilah untuk tempat atau permukiman bagi kalangan keturunan India muslim yang datang di Semarang untuk berdagang pada zaman dulu. Keberadaan komunitas Koja, Tionghoa, dan Arab di kawasan yang terletak tak jauh dari Kota Lama ini kemudian menjadi melting pot berbagai bangsa yang datang ke Semarang.

Advertisement

Johanes melanjutkan, mulanya prasasti itu dibuat pada 1979 dan tidak menyatu dengan tembok bangunan seperti sekarang. Dalam prasasti itu terdapat tulisan Lam Boe O Mie Too Hoet Kiat An.

Sementara area pemakaman sudah berusia lebih tua, dan di era pendudukan Belanda, pemerintah kolonial memerintahkan pemindahan seiring semakin banyaknya penduduk. “Juga karena jumlah orang Tionghoa semakin banyak. Kala itu, Belanda meminta kepada Kapiten On Hot Sing untuk memindah kuburan yang ada di Petolongan untuk dijadikan perumahan,” lanjutnya.

Atas saran pemerintah kolonial, permakaman keturunan Tionghoa itu akhirnya dipindahkan ke tempat lain. Salah satunya adalah di Jalan Menteri Soepeno yang sekarang disebut Bong Bunder.

Advertisement

Meski makam-makam tua itu dipindahkan, namun para anak cucu tidak melupakan leluhurnya yang dimakamkan di Bong Pekojan.

Menurut Johanes, warga keturunan Tionghoa itu masih banyak yang datang untuk berziarah di makam-makam yang dipindahkan itu. “Keturunan mereka masih sering berziarah ke Bong Bunder, terutama saat Perayaan Cheng Beng,” katanya lagi.

Advertisement
Imam Yuda Saputra - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif