regional
Langganan

Akademisi Minta Kampus Maksimalkan Rumah Aman untuk Tangani Kasus Kekerasan Seksual - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Fitroh Nurikhsan  - Espos.id Jateng  -  Sabtu, 21 September 2024 - 15:15 WIB

ESPOS.ID - Sosok Pakar Gender Unnes Tri Marhaeni Pudji Astuti saat mengisi FGD Desiminasi Melalui Media Engagement untuk Media Konvensional di Hotel MG Setos, Kota Semarang. Sabtu (21/9/2024) (Espos.id/Fitroh Nurikhsan)

Esposin, SEMARANG — Kekerasan seksual satu diantara tiga dosa besar di dunia pendidikan yang masih menjadi persoalan pelik. 

Minimnya perlindungan terhadap korban dan kampus terkesan tidak serius menjadi kendala penanganan kekerasan seksual.

Advertisement

Menurut Pakar Gender Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tri Marhaeni Pudji Astuti, banyak problematika dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. 

Salah satunya kampus asal menunjuk orang tidak punya kompetensi menjadi satgas penanganan kekerasan seksual.

Advertisement

Salah satunya kampus asal menunjuk orang tidak punya kompetensi menjadi satgas penanganan kekerasan seksual.

“Tiga dosa besar dunia pendidikan seperti kekerasan seksual, perundungan serta intoleran sudah diakui Kemendikbudristek. Untuk penanganan kekerasan seksual, sudah ada panduan melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 30 tahun 2021,” ucap Tri saat menjadi narasumber di Focus Group Discussion (FGD) bertemakan Desiminasi Melalui Media Engagement untuk Media Konvensional di Hotel MG Setos, Kota Semarang, Sabtu (21/9/2024).

Dengan hadirnya Permen tersebut, setiap kampus diwajibkan membentuk satgas dan ruang aman bagi korban. Tetapi sejauh ini, satgas yang telah dibentuk perannya belum optimal.

Advertisement

Upaya-upaya yang telah dilakukan satgas Unnes tersebut dirasa masih kurang. Tri menyampaikan mereka harus lebih gencar melakukan sosialisasi kepada seluruh lapisan sivitas akademika kampus.

Selain itu, dia juga meminta pihak kampus untuk terbuka misal ada kasus kekerasan seksual. Keterbukaan penanganan itu bisa gerbang pembuka korban-korban yang ingin melapor.

“Kampus harus terbuka dan memberikan sanksi berat terhadap pelaku sesuai aturan kementerian. Misal pelakunya dosen dan seorang ASN serahkan ke pihak terkait,” terangnya.

Advertisement

Sementara itu, Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan, Agung Budi Santoso, memaparkan ada beberapa faktor yang membuat korban enggan speak up

Di antaranya kurang mendapat dukungan dari lingkungan terdekatnya, takut disalahkan dan ketakutan mendapat ancaman-ancaman dari pelaku.

“Jadi rasa belum aman itu mengganggu korban. Makanya kita dorong dengan keterlibatan media untuk menyakinkan selain pemberitaan peristiwa diiringi dengan edukasi,” ungkapnya.

Advertisement

Dia melanjutkan dengan hadirnya UU TPKS sebagai payung hukum korban kekerasan seksual. Dia juga mendorong pemerintah daerah di tingkat kota maupun kabupaten memberi layanan yang dapat menjamin rasa aman korban.

“Artinya pemerintah siap mendampingi korban. Segala data dan identitas wajib dirahasikan sebagai perlindungan. Pihak pelapor juga diberikan perlindungan. Di dalam UU TPKS pengaduan kasus juga bisa dilakukan oleh tenaga medis. Misal ada orang berobat, ditemukan indikasi dia jadi korban kekerasan seksual. Bisa langsung membuat laporan ke UPTD atau penyedia layanan terkait,” ungkapnya.

Advertisement
Mariyana Ricky P.D - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif