by Abdul Hamid Razak Jibi Harian Jogja - Espos.id Jogja - Jumat, 20 Oktober 2017 - 19:55 WIB
Harianregional.com, SLEMAN- Sekitar 20 abdi dalem tiba-tiba berbaris di halaman Rumah Dinas Bupati, Jumat (20/10/2017) pagi. Mereka membawa tombak pusaka Kyai Turunsih untuk dijamas. Sebuah pusaka yang diberikan oleh Sultan HB X.
Tombak 'Kyai Turunsih' merupakan pusaka Kraton Ngayogyakarta yang dirawat oleh Pemkab Sleman. Tombak itu selama ini disimpan di ruang kerja Sekda Sleman. Jamasan pusaka Tombak 'Kyai Turunsih' itu dilakukan sekali setahun di bulan Suro. Prosesinya digelar setelah Keraton Ngayogyakarta melakukan jamasan keseluruhan pusakanya.
Prosesi jamasan berlangsung khidmat. Beberapa abdi dalem mulai membopong tombak pusaka itu dari ruang Sekda ke Pendopo Rumah Dinas Bupati Sleman. Pusala masih dibalut dengan kain. Dipimpin KMT Condropurnomo. Mereka membuka kain penutup sebelum memandikan tombak itu.
Condro adalah sesepuh abdi dalem di Sleman. Menurut dia, tombak 'Kyai Turunsih' memiliki dhapur (pangkal) cekel beluluk Ngayogyakarta dan pamor beras wutah (wos wutah) wengkon. Pamor wos wutah itu dipercaya sebagai perlambang rezeki dan sesuai dengan kondisi Sleman sebagai gudang berasnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain Tombak Kyai Turunsih, Sleman juga memiliki pusaka Kyai Mego Ngampak yang merupakan paring dalem (pemberian keraton).
Tombak ini juga sebagai simbol kepemimpinan. Di dalamnya ada dua pelita yang filosofinya pemimpin di Sleman mendapat pencerahan, luas wawasannya, bijak dalam berfikir, serta dapat mengayomi seluruh masyarakat. "Jadi pemimpin Sleman harus bisa toto tentrem karto raharjo,” tambahnya.
Dia menuturkan, prosesi jamasan semata-mata dilakukan untuk membersihkan dan menjaga benda warisan leluhur agar awet. Prosesi jamasan tersebut dilengkapi dengan ubarampe seperti bunga setaman, menyan, jajan pasar, dan pisang sanggan.
Ubarampe ini merupakan syarat yang telah menjadi tradisi semenjak nenek moyang dahulu. Syarat tersebut tidak diartikan sebagai sesuatu hal yang mistis tapi lebih pada nilai filosofinya.
“Seperti menyan, sebenarnya sebagi wewangian yang mendatangkan ketenangan disekitar area jamasan, dan juga pisang sanggan diartikan supaya abdi dalem bisa menyangga beban pekerjaannya ketika melakukan jamasan,” kata Condro.
Laiknya tahun-tahun sebelumnya, tidak sedikit prosesi jamasan itu diikuti oleh pemilik pusaka. Seperti pusaka keris leluhur Kepala Bidang Dokumentasi Sarana dan Prasarana Kebudayaan Disbud Sleman, Wasita. Jamasan terhadap keris itu, kata Warsita, lebih pada upaya uri-uri budaya. "Ini pusaka keluarga, milik kakak saya," katanya sambil memperlihatkan sebilah keris.