regional
Langganan

TRADISI BARTER : Ini Cara Warga Ngestiharjo Menghitung Nilai Barang - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia | Espos.id

by Kusnul Isti Qomah Jibi Harian Jogja  - Espos.id Jogja  -  Kamis, 14 Agustus 2014 - 12:20 WIB

ESPOS.ID - Murjiyanti (kanan) menukarkan satu beruk kecil beras dan ditukar dengan setengah kilogram gula jawa oleh Pantiem (kiri). (Kusnul Isti Qomah/JIBI/Harian Jogja)

Harianregional.com, GUNUNGKIDUL-Meski tergolong sebagai barter, tradisi ngurup tidak dapat dilakukan asal-asalan. Ada patokan nilai yang disesuaikan dengan harga pasaran. Mengenai indikator ukuran barang yang ditukarkan, warga Desa Ngestiharjo, Kecamatan Tanjungsari dan Desa Girikarto, Kecamatan Panggang juga sudah memiliki kesepakatan.

Misalnya saja, kata Mbah Pantiem, orang yang biasanya berbelanja untuk kebutuhan barang yang ditukar, gaplek satu cakupan tangan disamakan dengan gaplek satu kilogram. Ketika harga gaplek di pasaran Rp1.500 setiap kilogramnya, berarti gaplek tersebut bisa ditukar dengan tujuh buah tempe atau satu bungkus penyedap rasa atau dua buah gula jawa.

Advertisement

Untuk barang yang halus misal beras atau jagung, Pantiem menggunakan beruk atau gayung dari batok kelapa untuk menjadi patokan. Ada dua jenis beruk yakni besar dan kecil. Satu beruk besar setara dengan 13 ons sedangkan beruk kecil setara dengan 11 ons.

“Untuk minyak tanah, ukurannya pakai gayung kecil yang setiap gayungnya setara Rp2.300,” imbuh dia.

Seperti jual beli di pasar, sering kali terjadi tawar-menawar dengan pelaku ngurup. Ada yang minta tambah tempe atau gula jawa. Jika terjadi tawar-menawar akan dicari kesepakatan di antara kedua belah pihak.

Advertisement

Pantiem sudah menjadi penerima ngurup lebih dari 30 tahun. Kebisaannya diperoleh secara turun-temurun. Pantiem menerima barang yang di-ngurup selama banyak pengepul yang menginginkan baik gaplek, jagung, beras hingga bekatul.

“Daripada menganggur, lebih baik usaha kecil-kecilan seperti ini. Ramainya ketika sudah banyak orang membuta gaplek. Sekarang masih sepi,” ungkap dia.

Di Ngestirejo, Pantiem awalnya tidak sendirian. Ada empat penerima ngurup lainnya. Namun, hanya Pantiem yang bertahan hingga saat ini. Awalnya ia pun sampai membawa barang yang bisa ditukar berkeliling desa. Namun, sekarang ia hanya perlu duduk di rumah karena warga sendiri yang mendatanginya.

Advertisement

“Dulu waktu masih muda juga suka bikin tempe mlanding sendiri, sekarang sudah berkurang tenaganya,” jelas dia.

Tak hanya di Ngestirejo, warga Girikarto, Panggang pun masih melakukan tradisi itu hingga kini.

“Biasanya gaplek ditukarkan dengan bahan pokok,” ujar Samingin, salah satu warga Ngestirejo.

Advertisement
Mediani Dyah Natalia - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif