by Yesaya Wisnu - Espos.id Jateng - Jumat, 14 Mei 2021 - 03:00 WIB
Esposin, PATI -- Kesenian Tayub merupakan tradisi yang masih lestari dilakukan oleh masyarakat pesisir utara Pulau jawa, khususnya di Kabupaten Pati. Tradisi ini dilakukan minimal setahun sekali dalam acara sedekah bumi. Di salah satu desa di Kabupaten Pati, tradisi tayub ini juga dianggap sebagai pestanya para kaum petani.
Para sesepuh mengartikan nama Tayub sebagai ditoto ben guyub, (Bahasa Jawa: diatur agar tercipta kerukunan), sebuah filosofi yang ditanamkan pada Tayub sebagai kesenian untuk pergaulan. Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasi jiwa dan bakat seni.
Tayub juga merupakan tradisi yang mengandung unsur keindahan, spiritual dan keserasian gerak. Unsur keindahan berasal dari lenggak lenggok penari, unsur spiritualnya dipercaya jika ada laki-laki yang berani mbeso (menari), dirinya akan awet muda. Sedangkan unsur gerak terlihat pada gerakan penari tersebut.
Baca Juga : Inilah Cerita di Balik Nama Desa Gajahmati di Pati
Baca Juga : Inilah Cerita di Balik Nama Desa Gajahmati di Pati
Berdasarkan pantauan Solopos melalui kanal Youtube, Soma Channel, Selasa (11/5/2021), menjelaskan bahwa tradisi Tayub dipercaya sudah ada sejak masa kerajaan Singasari. Pertama kali digelar pada masa pemerintahan Prabu Tunggul Ametung.
Kemudian tradisi ini berkembang di Kerajaan Kediri dan Majapahit. Pada zaman ini, tradisi ini dilakukan sebagai bagian dari upacara syukuran bagi para pemimpin pemerintahan yang mendapatkan jabatan baru atau sebagai ritual doa bagi prajurit yang akan maju berperang.
Baca Juga : Pemkab Pati Izinkan Salat Id di Zona Hijau dan Kuning
Kisah dibalik kesenian Tayub ini diawali dari turunnya para Dewi-Dewi kayangan ke bumi dan menari berjejeran dengan gerak yang serasi. Pada masa pengajaran Walisongo, Tayub dipakai sebagai media untuk berdakwah, sehingga unsur-unsur agama Islam dimasukan.
Namun sangat disayangkan, pada masa kolonialisme Belanda, tradisi Tayub ini menjadi negatif karena unsur-unsur budaya barat yang dimasukan dalam tradisi ini oleh penjajah. Unsur negatif yang diberikan itu berupa tradisi minum-minuman beralkohol serta tindakan asusila.
Karena unsur negatif ini sudah melekat pada tradisi Tayub, hingga pada masa pemerintahan Sunan Pakubowono IV, tradisi ini tidak diperkenankan digelar kembali di kawasan pusat kerajaan dan akhirnya berkembang ke daerah-daerah pesisir utara Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
Baca Juga : Mengenal Tugu Bandeng, Ikon Kabupaten Pati yang Kaya Akan Filosofi
Persepsi negatif dari tradisi Tayub ini semakin kuat karena keterlibatan penari wanita yang menari dengan penonton laki-laki dan ada yang sampai memberikan saweran kepada penari tersebut. Penari itu menerima saweran dan memasukannya kedalam kemben sehingga muncul anggapan prostitusi dalam tradisi ini.
Fungsi dari tradisi Tayub ini berkali-kali mengalami pergeseran, dari awalnya sebagai ritual hingga sekarang sebagai hiburan semata, di mana dalam pertunjukan tayub, penari wanita akan mengajak penonton pria untuk menari bersama dengan mengkalungkan ledek atau selendang kepada penonton pria. Namun karena sudah melekat secara turun temurun, tradisi ini tetap digelar sebagai tujuan pergaualan atau hiburan saja