by Andreas Tri Pamungkas Jibi Harian Jogja - Espos.id Jogja - Rabu, 18 September 2013 - 18:25 WIB
Harian Jogja.com, JOGJA— Penghageng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, memastikan 10% hingga 15% dana keistimewaan (danais) yang mengalir ke Keraton sebagian digunakan untuk menggaji para abdi dalem beserta para pangeran sesuai dengan upah minimum regional (UMR).
Hanya saja, bisa terjadi duplikasi penggajian terhadap abdi dalem dan pangeran yang juga abdi negara. Sebab, sebagai pegawai negeri sipil (PNS), mereka telah menerima gaji.
Hanya saja, bisa terjadi duplikasi penggajian terhadap abdi dalem dan pangeran yang juga abdi negara. Sebab, sebagai pegawai negeri sipil (PNS), mereka telah menerima gaji.
Semisal, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat, Panghageng Manggala Yudha Keraton yang menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan DIY.
“Mas Yudha pegawai negeri, wis oleh gaji. Iki terus piye? Perlu dibahas dulu dengan Kementerian Keuangan,” kata Gusti Hadi di Komplek Kantor Gubernur DIY, Kepatihan, Rabu (18/9/2013).
Hadi mengklaim, pemberian gaji sesuai UMR itu bukan kemauan Keraton, melainkan justru dari Kementerian Keuangan. Hanya ke depan perlu dikaji, bahwa dengan gaji yang tinggi itu dapat menurunkan ruh atau loyalitas masyarakat dalam mengabdi ke Kraton atau tidak. Karena belum tentu maksut baik dengan memberikan gaji layak itu justru berdampak positif.
Salah satu abdi dalem, Raden Danu Wresni, yang juga bekerja sebagai pegawai di Humas Pemda DIY mengaku, penghasilan yang dia terima dari Keraton disebut paringan dalem.
Sebagai abdi dalem prajurit, Danu melaksanakan tugasnya sebagai prajurit dalam kegiatan bugaya yang digelar Keraton seperti sekaten.
“Dulu paringan dalem Rp2.000. Tapi sejak 2009 naik jadi Rp4.000,” katanya. Mendengar adanya kenaikan gaji abdi dalem itu, Danu tampak sumringah. Namun jika hal itu terbentur pekerjaannya sebagai abdi negara, Danu tak terlalu merisaukannya. Baginya, tujuan menjadi abdi dalem adalah melestarikan budaya.