by Rina Wijayanti Jibi Harian Jogja - Espos.id Jogja - Senin, 23 Desember 2013 - 14:48 WIB
Harianregional.com, JOGJA- Pengalamannya yang panjang membuat Muji, perempuan tiga orang anak ini tahu benar gori mana yang memiliki kualitas bagus dan biasa.
Perempuan asal Tegalrejo, Jogja ini menjadi penyacah gori di pasar Beringharjo sejak 1980. Bermula meneruskan usaha mertuanya. Seiring berkembangnya Kota Jogja, Muji adalah salah satu orang yang mereguk manisnya ikon Kota Jogja itu.
Selesai mencacah, pada waktu senggang biasanya malam hari, Muji melanjutkan berkeliling ke warung-warung langganannya untuk mencoba resep gudeg.
“Antara pembeli dengan penjual itu harus saling menjaga saling percaya, saya tidak saja mencacah tapi juga mencicipi masakan mereka jadi saya tahu mana gori yang bagus mana yang biasa,” katanya.
Pelanggan paling besar ialah warung gudeg Yu Djum dan Bu Tjitro. Selebihnya warung-warung makan kecil yang jumlahnya ratusan buah menyebar di Kota Gudeg ini.
Muji hanya satu di antara enam pengusaha pencacah gori di Pasar Beringharjo.
Pencacahan gori rupanya juga mengalami fluktuasi. Pada bulan-bulan tertentu biasanya Januari-Februari, gori di Jawa susah didapat.
Terpaksa mengandalkan kiriman dari Sumatra. Barangnya tak seberapa bagus dan harganya menjadi mahal. Gori asal Sumatera bisa mencapai harga Rp15.000 per kilo.
Namun dengan harga relatif mahal, untuk sebuah ikon Kota Gudeg, gori menjadi kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi.
“Gori sudah jadi kebutuhan pokok di Jogja, walaupun ada telur dan ayamnya tapi tak ada gori bukan gudeg namanya,” kata Muji berkelakar.