by Ponco Wiyono - Espos.id Jateng - Kamis, 17 November 2022 - 17:27 WIB
Esposin, SEMARANG – Kampung Melayu tidak hanya ada di Jakarta. Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), juga memiliki Kampung Melayu yang terbentuk dari berbagai komunitas pedagang dan memiliki nilai sejarah tinggi karena terdiri beberapa perkampungan kuno dengan bangunan tua yang hingga kini masih kukuh berdiri.
Sejarawan Kolese Loyola, Joseph Army Sadhyoko, mengatakan Kampung Melayu di Semarang merupakan perkampungan yang terbentuk dari perjumpaan para pedagang dari beragam etnis. Kawasan itu dinamai Kampung Melayu karena bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa transaksi antaretnis.
“Mereka berdagang di salah satu pelabuhan kecil di ujung utara Kota Semarang. Dari komunitas itu lama kelamaan muncul kultur suatu masyarakat yang egaliter dan hidup berdampingan," jelas Army kepada Esposin, Kamis (17/11/2022).
Kampung Melayu di Semarang, lanjut Army, dalam perjalanan sejarahnya kemudian memunculkan produk budaya yang khas. “Antara lain bangunan Masjid Layur, permukiman beragam etnis, dan rumah ibadah yang saling berdampingan,” sambungnya.
Kampung Melayu di Semarang, lanjut Army, dalam perjalanan sejarahnya kemudian memunculkan produk budaya yang khas. “Antara lain bangunan Masjid Layur, permukiman beragam etnis, dan rumah ibadah yang saling berdampingan,” sambungnya.
Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang tidak menutup mata dengan keberadaan Kampung Melayu yang dipenuhi bangunan kuno. Revitalisasi terhadap kampung ini pun saat ini tengah digalakkan agar menarik minat masyarakat maupun wisatawan berkunnjung.
Baca juga: Lima Band asal Semarang, Nomor 5 Lagu Viral & Dipuji Desta Club 80’s
Menurut pendiri KPTS, Theresia Tarigan, kegiatan jalan-jalan di Kampung Melayu ini bermanfaat bagi peserta guna memperkenalkan sejarah sebagian Kota Semarang. Selain itu, mereka juga mengunjungi sejumlah tempat yang instagramable seperti Taman Kampung Melayu.
“Keberadaan kampung-kampung ini menunjukkan sejarah Semarang, bahwa penduduknya berasal dari banyak etnis yang membentuk kampung kecil namun berdampingan secara rukun. Kami menyampaikannya langsung lewat Lelie Siang Pamungkas, yang merasa sebagai orang Kampung Melayu karena kakeknya berasal dari sini,” terang Theresia.
Baca juga: Wow! Kampung Melayu Semarang Bakal Jadi Kawasan Wisata Heritage
Pegiat Koalisi Pejalan Kaki ini juga bercerita, pedagang dan masyarakat yang berdatangan ke Kampung Melayu Semarang didominasi dari pendatang pulau seberang yang berbahasa Melayu. Namun ada juga pendagang yang datang dari Hadramaut, sebuah wilayah di Yaman, Timur Tengah.
Keberadaan etnis Hadramaut praktis disertai kebutuhan spriritual, sehingga pada tahun 1807 dibangun masjid berlantai dua yang sejak lama dikenal dengan nama Masjid Menara Layur. Kondisi lantai dasar Masjid Layur kini sudah di bawah permukaan tanah.
Adapun warga peranakan Thionghoa memutuskan membangun tempat ibadah bernama Klenteng Kam Hok Bio. Meski keberadaan kelenteng itu sempat ditolak warga etnis Arab, tapi berkat pendekatan warga Tionghoa melalui penguasa Belanda, pembangunannya pun dapat dilaksanakan.
“Lewat pemahaman ini kami ingin memberi semangat meningkatkan toleransi pada perbedaan yang ada antarwarga, agar kehidupan masyarakat di Kota Semarang senantiasa rukun gayeng seperti masa leluhur,” tandasnya.