by Abdul Jalil - Espos.id Jogja - Rabu, 13 April 2022 - 13:32 WIB
Esposin, JOGJA -- Setiap bulan Ramadan, Masjid Jogokariyan selalu menjadi perbincangan. Termasuk pada Ramadan 2022 ini. Bagaimana tidak, masjid yang berlokasi di Jl. Jogokariyan No. 30, Kecamatan Mantirjeron, Kota Jogja itu setiap hari menyediakan sekitar 3.000 porsi takjil.
Bukan hanya itu, di lokasi masjid ini juga ada Kampung Ramadan Jogokariyan yang ada ratusan pedagang makanan takjil saat sore selama bulan puasa. Dilihat dari akun Instagram resmi @masjidjogokariyan, setiap hari Kampung Ramadan Jogokariyan selalu ramai dikunjungi warga yang ingin mencari takjil untuk berbuka puasa.
Sebelum menjadi masjid yang terkenal seperti sekarang, sebenarnya bagaimana sejarah berdirinya Masjid Jogokariyan ini.
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Jogokariyan, Muhammad Jazir, yang dikutip dari muhammadiyah.or.id, Rabu (13/4/2022), menyampaikan peletakan batu pertama Masjid Jogokariyan pada 22 September 1966. Masjid tersebut diresmikan pada 20 Agustus 1967 oleh Muhammad Isman, Ketua PDM Kota Yogyakarta pada waktu itu.
Baca Juga: Yogyakarta Punya Belasan Candi, Didominasi Corak Hindu atau Buddha?
Sebelum Masjid Jogokariyan Berdiri
Dikutip dari salah satu penelitian ilmiah yang ada di digilib.uinsby.ac.id, Rabu (13/4/2022), sebelum tahun 1967, di Kampung Jogokariyan belum ada masjid. Kegiatan keagamaan dan dakwah berpusat di langgar kecil di pojok kampung setempat. Langgar berukuran 3X4 meter persegi itu tidak pernah terisi, karena masyarakat Jogokariyan pada waktu itu umumnya kalangan abangan.
Masyarakat Jogokariyan sebenarnya merupakan abdi dalem prajurit keraton dari Kesatuan Jogokariyo. Kampung ini dibuka sejak masa HB IV. Para abdi dalem ini dipindah ke kampung baru itu karena Beteng Baluwarti Keraton telah sesak.
Baca Juga: Kenapa Candi Prambanan Masuk Wilayah Yogyakarta? Ini Penjelasannya
Pada masa HB VIII, ada perubahan peran prajurit di Keraton Ngayogyakarta yang semula adalah prajurit perang hanya menjadi prajurit upacara. Jumlahnya pun menjadi sedikit, yang awalnya 750 orang menjadi 75 orang saja. Kondisi itu membuat banyak prajurit yang kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Kehidupan prajurit yang awalnya mapan sebagai abdi dalem berubah drastis menjadi petani karena mereka tidak lagi menerima gaji. Mereka diberi tanah sawah dan pekarangan untuk bertahan hidup. Tetapi, hanya sedikit yang bisa menyesuaikan diri dan bisa bertahan dengan tanah sawah itu. Selebihnya mereka menjual tanah itu kepada pengusaha batik dan tenun dari Kampung Jogokariyan.
Baca Juga: Jos! Sendal Milik Jemaah Hilang, Masjid Jogokariyan Langsung Ganti Baru
Tatanan sosial ekonomi di kampung ini pun berubah total. Kampung Jogokariyan mulai berubah jadi kampung batik dan tenun. Generasi anak abdi dalem pun terpaksa bekerja sebagai buruh di pabrik tenun dan batik.
Masa kejayaan batik dan tenun ini menjadi masa buram bagi keturunan abdi dalem prajurit Jogokariyan yang tidak bisa menyesuaikan diri. Mereka yang merupakan penduduk asli yang sudah menjadi misin di tengah kemakmuran pendatang. Padahal mereka punya gelar bangsawan, raden atau raden mas.
Baca Juga: Berdiri Sejak Ratusan Tahun Lalu, Ini Dia Masjid Tertua di Madiun
Kesenjangan sosial ekonomi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan sentimen kelas buruh dan majikan. Gerakan PKI ini disambut antusias warga Jogokariyan yang termarjinalisasi di kampungnya sendiri. Hingga akhirnya Jogokariyan menjadi basis PKI yang didominasi warga miskin dan buruh.
Para juragan batik dan tenun yang aktif di PNI dan beberapa pendatang dari Karangkajen menjadi pendukung Masyumi. Pada saat G30S PKI 1965 meletus, banyak warga yang diciduk sebagai tahanan politik.
Pada masa kritis tersebut, Masjid Jogokariyan dibangun dan menjadi alat perekat untuk melakukan perubahan sosial menjadi masyarakat Jogokariyan yang berkultur Islami. Masjid Jogokariyan benar-benar melaksanakan fungsi sebagai agen perubahan, yang awalnya abangan menjadi masyarakat Islami.