regional
Langganan

Alamak! Dewan Pers Sebut Banyak Media Tidak Ramah dengan Korban Kekerasan Seksual - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Fitroh Nurikhsan  - Espos.id Jateng  -  Sabtu, 21 September 2024 - 06:56 WIB

ESPOS.ID - Sumber: Antaranews.com

Esposin, SEMARANG -- Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, sangat menyayangkan masih banyaknya media massa maupun online yang tidak ramah ketika memberitakan kasus kekerasan seksual. Oleh karenanya, ia pun mengingatkan jurnalis atau perusahaan media untuk tidak abai terhadap kaidah-kaidah pemberitaan kasus kekerasan seksual.

Seiring banyaknya kasus kekerasan seksual yang terungkap dan jadi perhatian publik. Pemberitaan mengenai kekerasan seksual hampir setiap hari menghiasi media massa dan portal-portal media online.

Advertisement

Sayangnya, jumlah pemberitaan kasus kekerasan seksual yang terus meningkat tidak dibarengi dengan perlindungan korban. Jurnalis hingga redaksi media belum sepenuhnya mematuhi kaidah-kaidah kepenulisan yang melindungi identitas korban.

“Masih banyak ditemukan pemberitaan kasus kekerasan seksual sangat vulgar. Narasi-narasi yang ditulis secara detail itu justru merugikan korban. Dalam sebuah laporan isu kekerasan seksual memang menjadi topik dengan nilai jual berita yang sangat tinggi,” kata Ninik Rahayu saat menyampaikan materi dalam Focus Group Discussion (FGD) bertemakan Desiminasi Melalui Media Engagement untuk Media Konvensional secara virtual di Hotel MG Setos, Kota Semarang, Jumat (20/9/2024).

Ninik sapan akrab perempuan yang lahir pada 23 September 1963 ini memaparkan isu yang seringkali diberitakan media mengenai kekerasan seksual di antaranya pemerkosaan, pelecehan seksual hingga penjualan perempuan. Namun tidak semua media mematuhi kode etik jurnalistik seperti masih mencampurkan fakta dan opini, mengungkap identitas korban kekerasan seksual serta mengungkap identitas pelaku anak tindak pidana asusila.

Advertisement

“Media juga cenderung menampilkan narasi yang menormalisasikan kekerasan seksual. Lalu menyudutkan korban sehingga kekerasan seksual terhadap perempuan dianggap sesuatu yang wajar,” resahnya.

Lebih lanjut, dia membeberkan dalam lima tahun terakhir, banyak masyarakat yang keberatan dengan sajian berita yang tayang di media-media online. Sampai bulan September 2024, pihanya mencatat ada 600 aduan dari masyarakat terhadap pemberitaan online.

“Siapa yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat? Sebanyak 93 persen itu pelanggaran yang dilakukan media online dan perusahaan pers yang tidak terverikasi Dewan Pers," ungkapnya.

Advertisement

Sedangkan untuk pedoman pemberitaan kasus kekerasan seksual, paling utama jurnalis tidak boleh menuliskan serta menyiarkan identitas korban kekerasan seksual dan identitas pelaku anak tindak pidana asusila.

Sebetulnya pedoman pemberitaan tersebut, kata Nunik sudah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), jauh sebelum hadirnya UU Perlindungan Anak dan UU TPKS.

Dengan hadirnya UU TPKS yang kini menjadi payung hukum terhadap korban kekerasan seksual. Pihaknya meminta jurnalis untuk meningkatkan keterampilan perihal memberitakan kasus tersebut.

“Identitas korban kekerasan seksual itu tidak boleh ditulis nama lengkap, inisialnya atau pakai nama samaran seperti mawar atau melati. Cukup dinarasikan sebagai korban 1, korban 2, atau korban 3,” tukasnya.

Advertisement
Imam Yuda Saputra - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif