regional
Langganan

Distanbun Jateng Gandeng PT Lampion, Tembakau Petani Terserap Optimal

by Imam Yuda Saputra  - Espos.id Jateng  -  Senin, 7 Oktober 2024 - 07:22 WIB

ESPOS.ID - Koordinator Fungsional Penyuluhan Distanbun Jateng, Bayu Sasongko, saat melihat hasil pengolahan tembakau petani saat menggelar pelatihan di Kledung, Wonosobo, Kamis (26/9/2024). (Esposin/Imam Yuda S.)

Esposin, SEMARANG -- Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah (Distanbun Jateng) menginisiasi program demonstrasi farming (demfarm) berbasis kemitraan yang diperuntukan untuk petani tembakau, terutama di wilayah Temanggung dan Wonosobo. Program ini sangat bermanfaat bagi petani karena tak hanya menjaga kualitas, tapi juga menyerap hasil panen tembakau secara optimal. 

Kepala Distanbun Jateng, Supriyanto, mengaku dalam program demfarm, pihaknya turut menggandeng PT Lampion Agrikultura Indonesia, selaku perusahaan perdagangan tembakau terbesar di Temanggung. PT Lampion ini pulalah yang membeli tembakau petani untuk disalurkan ke perusahaan-perusahaan. 

Advertisement

"Dalam mengawal produksi petani kami selalu menggunakan prinsip GAP [good agriculture practice] dan GHP [good handling product]. Jadi, bukan proses produksinya yang kita kawal, tapi juga pasca-panen atau pemasaran. Kebetulan ada perusahaan yang tidak hanya mengedepankan pasar, tapi juga semangat pemberdayaan petani. Itulah yang kami jadikan mitra," ujar Supriyanto saat berbincang dengan Esposin di kantornya, beberapa waktu lalu. 

Supriyanto menambahkan dalam menjalankan kemitraan itu, PT Lampion tidak hanya menyerap tembakau dari petani. PT Lampion juga turut membantu petani dalam melakukan budidaya, seperti menyediakan benih, pupuk, hingga mampu menghasilkan tembakau sesuai dengan spesifikasi pasar. 

Advertisement

Supriyanto menambahkan dalam menjalankan kemitraan itu, PT Lampion tidak hanya menyerap tembakau dari petani. PT Lampion juga turut membantu petani dalam melakukan budidaya, seperti menyediakan benih, pupuk, hingga mampu menghasilkan tembakau sesuai dengan spesifikasi pasar. 

"Kebetulan tembakau yang diinginkan pasar saat ini adalah tembakau kering atau non-gula. Jadi petani kita dorong untuk membudidayakan itu [tembakau non-gula]," imbuh Supriyanto.

Sementara itu, salah seorang petani tembakau asal Kledungkradenan, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Wonosobo, Sumaryanto, mengaku mendapat banyak benefit dari program kemitraan yang diinisiasi Distanbun Jateng. Ia mengaku produk tembakau miliknya tahun ini lebih terserap pasar dibandingkan tahun lalu, sebelum mengikuti program kemitraan dengan Distanbun Jateng. 

Advertisement

Tak hanya dari segi penyerapan, dari segi harga jual ia juga mengaku lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Kendati tahun lalu hasil panennya cukup bagus menyusul musim panas yang berkepanjangan.

"Tahun lalu hasil panennya cukup bagus, tapi harganya paling tinggi sekitar Rp70.000 per kg. Tapi tahun ini beda. Harga jualnya bisa mencapai Rp80.000," ujar Sumaryanto yang menanam tembakau jenis Kemloko II. 

Advertisement

Tembakau Non-Gula

Sumaryanto pun berharap program kemitraan Distanbun Jateng dan PT Lampion Agrikultura Indonesia itu bisa terus dipertahankan dan ditingkatkan. Dengan program kemitraan itu, pihaknya juga mendapat pendampingan dari para petugas penyuluh lapangan (PPL) sejak masa tanam hingga pasca-panen. 

"Harapannya ke depan program ini bisa ditingkatkan. Kalau bisa harganya [tembakau] semakin tinggi. Selain itu, kami berharap dibantu dalam proses pengeringan [oven tembakau]," harapnya. 

Advertisement

Terpisah, PPL asal Desa Candisari, Bansari, Temanggung, Rinawati, mengaku program demfarm berbasis kemitraan yang digagas Distanbun Jateng memang menekankan pentingnya pengolahan pascapanen tembakau tanpa menggunakan gula. Hal ini selain lebih menghemat biaya produksi juga atas permintaan pasar, yakni PT Lampion Agrikultura Indonesia. 

Hal ini tidaklah mudah karena masih banyak petani tembakau di Temanggung maupun Wonosobo yang terbiasa mencampur tembakau dengan bahan lain seperti gula. Alasannya pun beraneka macam, salah satunya adalah kepercayaan jika dicampur gula, kualitas tembakaunya akan meningkat dan memiliki harga jual tinggi. 

Namun, faktanya mencampur tembakau dengan gula justru membuat biaya operasional petani meningkat. Petani harus membeli puluhan kilogram gula sebagai bahan campuran tembakau. Selain itu, proses pengeringan tembakau juga jadi lebih lama. Terlebih saat ini pasar tembakau Temanggung maupun Wonosobo cenderung tembakau kering atau non-gula. 

”Memang enggak mudah mengubah pola atau kebiasaan petani ini. Tapi, lambat laun sudah banyak yang melakukan [memproduksi tembakau non-gula]. Apalagi, kalau ada petani yang berhasil, yang lain pasti pada ikutan,” ungkapnya.

Advertisement
Imam Yuda Saputra - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif