regional
Langganan

Sedih… 93 Perempuan di Jateng Jadi Korban Kekerasan Sepanjang 2023 - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Fitroh Nurikhsan  - Espos.id Jateng  -  Kamis, 25 Juli 2024 - 12:14 WIB

ESPOS.ID - Potret para peserta mengikuti lauching laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani LRC-KJAM. Kamis (25/7/2024) (Solopos.com/Fitroh Nurikhsan)

Esposin, SEMARANG — Legal Resource Center Keadilan untuk Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC- KJHAM), mencatat sepanjang tahun 2023 terdapat 93 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah (Jateng).

Kepala Operasional LRC-KJHAM, Nihayatul Mukharomah, menuturkan angka kekerasan terhadap perempuan memang menurun apabila dibandingkan dengan data tahun lalu.

Advertisement

Tapi pihaknya enggan memandang pencapaian tersebut sebuah hal yang positif.

“Iya, data kekerasan terhadap perempuan tahun 2022 terdapat 133 kasus. Tahun 2023 ini turun 93 kasus. Naik-turunnya (kasus kekerasan) tidak bisa dilihat secara negatif. Ketika ada data kasus bagaimana kita bisa merespon untuk melakukan penanganan,” ucap Nihayatul kepada Esposin, Kamis (25/7/2024).

Advertisement

“Iya, data kekerasan terhadap perempuan tahun 2022 terdapat 133 kasus. Tahun 2023 ini turun 93 kasus. Naik-turunnya (kasus kekerasan) tidak bisa dilihat secara negatif. Ketika ada data kasus bagaimana kita bisa merespon untuk melakukan penanganan,” ucap Nihayatul kepada Esposin, Kamis (25/7/2024).

Dia menyebut kasus kekerasan terhadap perempuan yang didampingi LRC-KJHAM menyebar di lima kota/kabupaten Jateng. Kota Semarang menduduki peringkat pertama dengan jumlah kasus sebanyak 59.

Sedangkan dari 93 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan sekusal (KS) paling mendominasi. Kemudian disusul Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sehingga secara pendampingan tahun 2023 cenderung lebih berat bagi LRC-KJHAM.

Advertisement

Bahkan tak sedikit penyidik kepolisian yang menangani kasus kekerasan seksual punya perspektif pada korban. Kepolisian terkadang masih menstigma negatif korban kekerasan seksual.

“Kami mengalami banyak tantangan saat mendampingi korban yang ingin lapor. UU TPKS kan UU baru artinya banyak tantangan bagaimana menyiapkan korban ketika melapor ke kepolisian,” ungkapnya.

Selain pelaporan kasus kekerasan seksual yang tergolong cukup rumit. LRC-KJAM juga menyesalkan adanya tiga kasus KDRT yang ditangani oleh pihaknya mandek di kepolisian. Kurangnya alat bukti jadi alasan polisi memberhentikan penanganan kasus tersebut.

Advertisement

“Kalau di UU PKDRT, satu saksi dengan disertai satu alat bukti lainnya sudah bisa diproses. Tapi faktanya ternyata tidak seperti itu. Kasus yang kita dampingi, kami punya saksi korban, didukung visum, dan beberapa saksi lainnya. Tapi hasilnya masih mandek di penyidikkan,” resahnya.

Persoalan lainnya yang sering kali ditemukan ketika mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan adalah restitusi tidak sesuai UU.

Restitusi sendiri banyak beragam bentuknya mulai dari pergantian biaya perawatan, medis hingga psikologis.

Advertisement

“Restitusi saja yang menjadi hak korban. Ketika pelaku hanya mampu membayar setengah, semestinya ada dana bantuan kepada korban. Nyatanya restitusi tidak pernah terbayarkan,” terangnya.

Nihayatul kasus kekerasan terhadap perempuan ibarat fenomena gunung es. Banyak kejadian, tapi korban memilih untuk tidak melapor.

Untuk itu, dirinya mengimbau tak perlu takut untuk melapor. Korban bakal dilindungi serta mendapatkan hak-haknya yang tertuang dalam UU.

“Ini bukan aib, bukan malu, korban punya hak yang harus negara berikan. Memang butuh upaya-upaya lebih keras dalam memperjuangkan hak-hak itu,” tandasnya.

Advertisement
Mariyana Ricky P.D - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif