by Holy Kartika N. S Jibi Harian Jogja - Espos.id Jogja - Senin, 2 Februari 2015 - 08:20 WIB
Megaproyek Kulonprogo memicu konflik di masyarakat, karenanya digelarlah mujahadah untuk meredakan
Harianregional.com, KULONPROGO - Sejak rencana pembangunan megaproyek direalisasikan, konflik sosial di tengah masyarakat pun mulai mencuat.
Hal itu mengundang keprihatinan dari sejumlah pihak yang menyayangkan konflik-konflik yang terjadi di kawasan pembangunan bandara dan penambangan pasir besi.
"Konflik yang terjadi akibat adanya penolakan dari warga sekitar menjadi keprihatinan kami. Hanya karena perbedaan pandangan, konflik terjadi di masyarakat," ujar Ketua Lembaga Kajian Resolusi Konflik Muqoffa Mahyudin dalam acara Mujahadah Perdamaian dan Kebersamaan Dalam Islam, Masyarakat Pesisir Kulonprogo di Masjid Ainun Jariah, Ngelak, Jangkaran, Temon, Minggu (1/2/2015).
Acara tersebut juga dihadiri warga terdampak pembangunan mega proyek dan juga beberapa desa di wilayah Temon. Termasuk diantaranya warga yang menolak pembangunan bandara yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT).
Selama ini, konflik sosial itu mulai tampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Hubungan antar warga mulai tampak renggang yang tercermin dalam hajatan pernikahan hingga takziyah.
Muqoffa mengatakan, apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka akan terwariskan kepada generasi berikutnya. Acara ini, lanjut dia, dapat menginspirasi bagi semua kelompok agar dapat mengakhiri konflik sosial ini.
"Pendekatan agama seperti ini diharapkan dapat menjadi media penyembuh hati. Melalui doa dan makan bersama ini dapat menjadi langkah awal untuk kembali ke kehidupan lama yang lebih tentram," jelas Muqoffa.
Salah satu tokoh masyarakat Desa Jangkaran, M Sururudin meyakini Kajian Resolusi Konflik untuk menyatukan umat akan menyadarkan masyarakat. Dia berharap, agar acara semacam ini dapat terus berlanjut.
Hal senada juga disampaikan Ketua WTT Martono. Dia bahkan menginginkan agar kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara rutin.
"Hanya saja untuk diwilayah Desa Glagah dan sekitarnya, perlu koordinasi intens. Perlu proses agar warga disana dapat menerima," jelas Martono.