regional
Langganan

Kisah Warga Belasan Tahun Tinggal di Kolong Jembatan Flyover Cakrawala Semarang - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Adhik Kurniawan  - Espos.id Jateng  -  Sabtu, 3 Agustus 2024 - 11:00 WIB

ESPOS.ID - Suasana permukiman di kolong jembatan Flyover Cakrawala di Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Rabu (31/7/2024). (Solopos.com/Adhik Kurniawan)

Esposin, SEMARANG – Puluhan keluarga tinggal berimpitan di kolong jembatan Flyover Cakrawala di Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).

Warga menempati kolong jembatan karena bingung mencari tempat tinggal seusai rumah mereka di dekat jembatan tersebut digusur pada 2006 silam.

Advertisement

Kala Esposin menyusuri kolong jembatan itu pada Rabu (31/7/2024), hal pertama yang dirasakan adalah udara pengap karena kurangnya sirkulasi udara. Tempat tersebut juga minim pencahayaan lantara lokasinya sekitar 4 meter di bawah jembatan.

Rumah-rumah warga tampak hanya dibangun menggunakan papan kayu, tripleks, dan seng. Terlihat, warga menjemur pakaiannya di depan rumah mereka.

Advertisement

Rumah-rumah warga tampak hanya dibangun menggunakan papan kayu, tripleks, dan seng. Terlihat, warga menjemur pakaiannya di depan rumah mereka.

Adapun lokasinya yang berada di kolong jembatan itu, membuat perkampungan Jembatan Cakrawala selalu gaduh dengan suara-suara kendaraan berat. Tak jarang, sejumlah barang, perabotan, sampai vas bunga jatuh imbas getaran akibat laju kendaraan berat di atas jembatan.

Tak hanya itu, suara laju kereta api turut menyapa perkampungan tersebut karena kurang dari 20 meter, terdapat perlintasan kereta api. Kemudian lokasinya yang tak jauh dari bandara, membuat deru pacu suara pesawat nyaris terdengar tiap melintas di udara.

Advertisement

Ketua Paguyuban Cakrawala, Joko Purnomo, bercerita warga menempati kolong jembatan karena bingung mencari tempat tinggal setelah rumah mereka di dekat jembatan digusur pada 2006 silam. Kala itu, ada ratusan warga yang terkena penggusuran dan tak semuanya mendapat tempat relokasi.

"Jadi dulu, pas 2001, kan banyak perantau, saya dan termasuk warga-warga sini tinggalnya di sana [seberang Jembatan Cakrawala], di tanah itu yang sudah dikapling-kapling. Awalnya bisa tinggal di sana karena ditawari tanah murah, cuma Rp3 juta, bilangnya bekas tanah garapan, dan siapa yang enggak mau punya rumah di Semarang kan? Cuma memang kebodohan kami waktu itu kok bisa-bisanya mau beli tanah enggak ada sertifikatnya," kenang Joko.

Negosiasi

Kendati digusur karena tak memiliki surat-surat, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang disebut tak lepas tangan. Sebab, sempat ada negosiasi agar warga bisa membeli tanah itu ke pemilik aslinya dengan cara mencicil.

Akan tetapi, hanya 1 RT yang diberi kesempatan mencicil untuk menjadikan tanah tersebut menjadi milik penghuni. Sedangkan sisanya, diberi pilihan untuk pindah ke tempat relokasi.

Advertisement

"Nah karena sebenarnya itu tanah wakaf, enggak bisa dijual-beli, tetapi ada 1 RT yang bisa karena ada pemiliknya. Terus warga lainya ditawarkan relokasi di Palir [Kecamatan Ngalian], tapi enggak mencukupi semua," ungkap pria 49 tahun itu.

Oleh karena itu, puluhan warga yang tak kebagian tempat relokasi di Palir, akhirnya memilih tinggal di kolong Jembatan Cakrawala. Mereka tinggal dengan cara mendirikan bangunan semipermanen.

Joko pun sebetulnya bukan warga pertama yang menempati kolong Jembatan Cakrawala. Sebab, seusai digusur, Joko dan keluarganya sempat tinggal mengontrak karena takut tergusur untuk kali kedua.

Advertisement

Akan tetapi, beberapa warga yang lebih dulu tinggal di Jembatan Cakrawala, mendatangi Joko dan meminta ikut tinggal di kolong jembatan atau menjadi ketua paguyuban. Sebab, saat itu, santer kabar warga akan kembali digusur sehingga meminta Joko untuk melobi pemerintah setempat agar memberikan waktu bagi mereka.

“Kenapa saya? Karena di tempat yang dulu awalnya digusur itu saya ketua paguyuban juga. Jadi mereka minta saya kelola lagi biar kondusif,” akunya.

Joko yang merasa pernah menjadi teman satu perjuangan, akhirnya tak bisa menolak tawaran tersebut. Meskipun pada akhirnya tetap tak mendapat izin, akan tetapi Joko bersyukur pemerintah memberikan waktu bagi warganya untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli rumah di tempat lain.

“Kami tahu bawah jembatan bukan tempat untuk ditinggali, pemerintah juga tahu, kami sadar. Makanya waktu 2006, awalnya itu ada 75 KK yang tinggal di sini. Tapi sekarang tinggal 39 KK. Sebagian sudah bisa beli tanah-rumah, jadi keluar dari sini. Itu lah program kami agar diberikan waktu tinggal untuk mengumpulkan uang [beli rumah], dan kami juga enggak mau selamanya tinggal di sini. Maka kami berkomitmen untuk bangkit bersama, pokoknya enggak boleh nambah, harus berkurang yang tinggal di sini,” pungkasnya.

Sering Berkegiatan

Meski tinggal di kolong jembatan, kehidupan mereka tampak sama seperti warga di permukiman pada umumnya. Paguyuban Cakrawala sering mengadakan kegiatan berupa kumpul-kumpul, PKK, rapat, sampai kerja bakti.

Mereka juga sadar bahwa tanah yang ditempati bukanlah milik mereka. Setidaknya, mereka ingin bertanggung jawab dengan cara membuat lingkungan menjadi lingkungan yang baik.

“Maka rutin di sini kerja bakti, kita jaga tempatnya biar bersih. Karena kalau bersih, semua enak tinggalnya kan,” tuturnya.

Di sisi lain, Joko berharap pemerintah memberikan keringanan dan akses bagi warganya agar bisa mendapat rumah bersubsidi di Kota Semarang. Sebab, warga yang tinggal di kolong jembatan ini sering dikira tidak mampu saat akan mengambil kredit perumahan rakyat (KPR).

"Tolong kami dicarikan rumah bersubsidi yang bisa dicicil. Karena kalau kami yang mengajukan tetap enggak bisa. Padahal di sini pada berani kalau disuruh cicil, soalnya di sini pada kerja dan pekerja keras semua," harapnya.

Advertisement
Rohmah Ermawati - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif