by Adhik Kurniawan - Espos.id Jateng - Kamis, 4 Juli 2024 - 18:02 WIB
Esposin, SEMARANG -- Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK Negeri Jateng 2024 diwarnai kisah pilu dari calon peserta didik baru yang berasal dari keluarga tidak mampu, yakni anak pasangan suami (pasutri) tunanetra. Calon siswa yang diketahui bernama Vita Azahra itu gagal diterima dalam PPDB Jateng 2024 meski pun telah berupaya mendaftar dari jalur afirmasi, yang diperuntukkan bagi anak dari keluarga tidak mampu.
Kedua orang tua Vita, Warsito dan Uminia, pun merasa kecewa. Mereka mengaku kegagalan anaknya untuk mendapatkan sekolah negeri melalui jalur afirmasi PPDB itu dikarenakan data yang salah dari Dinas Sosial (Dinsos) setempat.
Uminia, 42, menceritakan putrinya ditolak jalur afirmasi dalam PPDB Jateng 2024 karena dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) sebagai Prioritas 4 atau P4, yang masuk kategori rentan miskin. Sementara dalam regulasi PPDB, jalur afirmasi hanya diprioritaskan bagi anak dari kalangan keluarga tidak mampu yang masuk kategori P1 (miskin ekstrem), P2 (sangat miskin), dan P3 (miskin).
“Anak saya daftar di SMAN 9 Semarang dan SMAN 4 Semarang, tapi ditolak [jalur afirmasi], karena katanya enggak prioritas [afirmasi]. Saya juga bingung, padahal secara kondisi miskin, kok enggak bisa, terus disarankan ke Dinsos [Dinas Sosial] Jateng buat benahin data,” kata Uminia di saat ditemui di rumah kontrakannya, Kamis (4/7/2024).
Wanita yang bekerja sebagai tukang pijat bersama suaminya tersebut kemudian pergi ke Dinsos Jateng untuk membenahi DTKS-nya agar bisa mendaftar PPDB. Namun, pihak Dinsos justru meminta pasutri tunanetra asal Semarang itu menyampaikan permasalahannya ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jateng.
“Tanya Dinsos diminta ke Disdik, dari Disdik diminta ke Dinsos lagi, dilempar-lempar sampai bolak-balik empat kali. Bingung saya, anak saya bagaimana kalua enggak sekolah. Sementara, kalau sekolah swasta kan mahal. Saya enggak mampu," keluhnya.
Kendati demikian, upaya itu tidak berhasil. Putrinya tetap tidak diterima melalui jalur zonasi karena rumahnya dianggap terlalu jauh. “Sempet disaranin lewat zonasi saja. Tapi sama, ditolak, karena [rumah] jaraknya 2 km lebih. Jadi enggak diterima,” ujar Warsito penuh dengan nada kekecewaan.
Sementara itu, Pembina Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Semarang, Zaenal Abidin Petir, menyesalkan kejadian yang menimpa pasutri tunanetra itu. Ia menilai hal itu terjadi akibat keteledoran dan ketidakcermatan petugas verifikasi dan validasi DTKS mulai dari kelurahan hingga Kementrian Sosial (Kemensos).
”Dampaknya jadi si anak tidak bisa diterima di sekolah negeri lewat jalur afirmasi. Karena data salah, tidak bisa nyantol di aplikasi pendaftaran,” ujar Zainal Petir.
Zainal pun mengaku sudah meminta keterangan dari Disdikbud Jateng maupun Dinsos Jateng. Ia berharap kasus ini bisa segera diselesaikan sehingga calon peserta didik dari kalangan keluarga tidak mampu tetap bisa mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan di SMA negeri.