Esposin, SEMARANG — Sebanyak tiga mahasiswa yang tergabung dalam massa aksi Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) Jawa Tengah (Jateng) diperiksa polisi seusai unjuk rasa atau demo bertajuk "Jateng Bergerak Adili dan Turunkan Jokowi" di Balai Kota Semarang berakhir ricuh pada Senin (26/8/2024) malam.
Kuasa Hukum Tim Geram Jateng, Yuri Muktia, mengungkapkan satu dari tiga mahasiswa yaitu S berasal dari kampus UIN Walisongo sudah diperiksa di Polrestabes Semarang sebagai saksi pada Selasa (3/9/2024). S diperiksa sejak pukul 10.00 IB .
Promosi UMKM Binaan BRI, Minimizu Bawa Keunikan Dekorasi Alam ke Pameran Kriyanusa 2024
Yuri menilai pemanggilan S merupakan bentuk tindakan represif aparat. Selain S, terdapat dua mahasiswa lain yang juga dipanggil untuk menjalani pemeriksaan polisi. Mereka adalah mahasiswa lain dari UIN Walisongo dan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).
“Yang kami sorot itu ternyata pasca-aksi teman-teman mahasiswa masih mengalami intimidasi. Bahkan panggilan-panggilan seperti ini termasuk bentuk represif. Itu yang kami sayangkan,” ucap Yuri kepada Esposin, Selasa.
Yuri menilai seharusnya pihak kepolisian memberikan kebebasan untuk berekpresi kepada para mahasiswa yang unjuk rasa atau menggelar demo. Hal itu dikarenakan demonstarsi merupakan hak masyarakat sipil yang dijamin Undang-Undang.
Dia melanjutkan saat proses pemeriksaan, S dicerca 20 pernayataan dari penyidik terkait persiapan dia sebelum aksi hingga pasca-aksi. Dari pertanyaan itu, Yuri menilai polisi tengah memburu aktor-aktor di balik aksi unjuk rasa itu.
“Mereka [kepolisian] memanggil massa aksi menggunakan pasal 106 KUHP tentang penghasutan. Kalau yang dulu zamannya aksi reformasi dikorupsi, polanya bukan menggunakan pasal tersebut. Tapi beberapa kali ada peretasan kepada teman-teman massa aksi,” imbuhnya.
Lantaran proses pemeriksaan berjalan cukup lama. Pihak kuasa hukum Geram Jateng lantas meminta penundaan karena kondisi psikologis S sudah kelelahan.
Kuasa Hukum Tim Geram Jateng lainnya, Nico Wauran, mengungkapkan kalau pihak kepolisian juga melakukan sweeping dengan mendatangi warung-warung makan atau tempat nongkrong para mahasiswa yang terlibat unjuk rasa atau demo di Balai Kota Semarang.
“Jadi polisi pasca-aksi datang ke [warung] burjo maupun kos-kosan mencari mahasiswa dan menanyakan kamu ikut aksi nggak? Cara seperti itu kayak mengintimidasi dan menakut-nakuti mahasiswa yang kritis untuk bersuara menyoroti kondisi negara Indonesia,” ucapnya.
Nico masih melakukan pendataan soal mahasiswa-mahasiswa yang didatangi polisi pasca-aksi. Dia menyebut ada 4 kampus yang di-sweeping kepolisian pasca-aksi.
“Sampai sekarang [sweeping] masih. Kami tidak tahu apa yang mereka cari. Tapi itu kami anggap sebagai bentuk represif aparat dan praktik pembungkaman kepada orang-orang yang menyampaikan keluhan. Demonstraasi itu hak masyarakat yang dilindungi konstitusi,” tegasnya.