by Rheisnayu Cyntara Jibi Harian Jogja - Espos.id Jogja - Minggu, 21 Januari 2018 - 06:20 WIB
Harianregional.com, BANTUL- Sekelompok penyandang disabilitas di Desa Segoroyoso, Kecamatan Pleret membuktikan bahwa bermusik tak hanya bagi mereka yang lengkap fisiknya. Musik tak mengenal batasan.
Pendopo Kapoerwantan yang terletak di tengah kampung itu nampak ramai. Beberapa warga tengah duduk-duduk santai, melihat grup musik Puser Bumi bermusik. Suara dram, gitar dan biola berpadu apik dengan iringan alat musik tradisional saron.
Mengalir lembut namun rancak. Riska, sang vokalis, tengah melantunkan tembang Ilir-Ilir. Tembang yang disebut-sebut sebagai salah satu alat dakwah Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Menariknya, lagu daerah ini diaransemen mirip musik genre jazz kontemporer.
Mengalir lembut namun rancak. Riska, sang vokalis, tengah melantunkan tembang Ilir-Ilir. Tembang yang disebut-sebut sebagai salah satu alat dakwah Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Menariknya, lagu daerah ini diaransemen mirip musik genre jazz kontemporer.
Ketukannya menjadi lebih cepat namun tetap mengalun lembut. Warga yang menonton tanpa sadar mengikuti dengan goyangan kaki dan kepala. Usai Riska menyayi, tepuk tangan pun tak henti-hentinya diberikan.
Grup musik Puser Bumi ini baru terbentuk satu tahun terakhir, tepatnya pada Oktober 2016 lalu. Mereka adalah Ristanto sang bassis, Tri Umaryadi yang lincah bermian drum, vokalis Riska, Fikri dan Fauzi memaikan gitar dan biola. Serta Ridwan, Agus, dan Arif yang memegang alat musik tradisional saron.
Pemusik dari berbagai elemen seperti guru, mahasiswa, dan siswa sekolah musik ini pun dikumpulkan. Namun tak sembarang pemusik, mereka adalah para tunanetra yang mahir bermusik.
Setelah berlatih beberapa lama, mereka pun berangkat ke Negeri Gajah Putih untuk mengikuti Festival Drum Asia-Jepang. “Pertengahan 2017 itu bukan berbentuk band seperti ini tapi lebih pada kelompok perkusi,” ucapnya, Jumat (19/1/2018).
Dinobatkan sebagai penyaji terbaik, mereka mendapatkan hadiah beberapa alat musik. Hal ini lah kemudian yang memberikan semangat bagi Puser Bumi untuk terus berkembang menjadi sebuah grup band. Mamik mengaku tidak terlalu sulit untuk membimbing band tunanetra yang menyebut dirinya sebagai para raweruh ini.
Menurutnya kemampuan bermain musik tiap anggota sudah cukup mumpuni sebelumnya sehingga Mamik tinggal mengasah dengan berbagai aransemen lagu. Terhitung pasca penampilannya di Thailand, band ini sudah pentas di enam tempat.
Meskipun sudah memiliki bekal yang cukup untuk bermusik, pemain bass bass, Ristanto mengakui ada beberapa kesulitan yang sempat ditemuinya dalam beradaptasi dengan pemain lain karena belum kenal sebelumnya.
Namun dengan latihan rutin seminggu dua kali, lama kelamaan ia mampu mengatasi permasalahan tersebut. "Dalam latihan kami dibimbing untuk saling mengkolaborasikan kemampuan dengan pemain lain," tuturnya.
Pimpinan Sanggar, Purwanto yang juga mendampingi saat latihan rutin tersebut mengakui kemampuan para personel Band Puser Bumi ini. Menurutnya dengan benar-benar mengandalkan kemampuan mendengar saja, para pemain bisa lebih fokus.
Tak ayal, nama Puser Bumi ini tersirat makna sebuah titik fokus pada rotasi bumi. Ia menambahkan latihan yang digelar di sanggar biasanya lebih banyak mengolah lagu dengan aransemen lain.
"Tapi sekarang kita sedang mempersiapkan lagu sendiri. Tunggu saja," ucapnya antusias.
Puser Bumi tak pernah berhenti membuktikan diri bahwa bahwa musik adalah milik setiap individu. Tanpa terkecuali. Bermusik tak pernah mengenal batasan fisik.