UMKM Jogja terus bangkit dengan melakukan ekspor.
Harianjogja.com, JOGJA -- Di tangan empat sekawan yaitu Syahrizal, Surya Aditya, Taufik Hidayat, dan Ardian, cincin perak tak lagi bermotif bunga, akan tetapi sudah bernuansa kontemporer seperti tulisan dan logo. Peruntukkannya pun tak lagi untuk perhiasan tetapi digunakan untuk suvenir sebuah komunitas atau perusahaan.
Promosi BRI Dampingi Petani Jeruk Semboro di Jember Terapkan Pertanian Berkelanjutan
Motif logo yang ditampilkan seperti baby booming dan jail ring. Motif-motif seperti ini paling laris di pasar luar negeri, terutama Amerika dan New Zealand. "Kalau pasar Indonesia masih bijian. Tapi kalau kirim ke Amerika, sekali kirim untuk lima brand, satu brandnya 50 biji [cincin]," kata Rizal pada Harian Jogja di sela-sela mengikuti kegiatan Festival#Ambisiku di Jogja Expo Center (JEC), Jumat (16/9/2016).
Ia mengatakan, pasar Indonesia memang tidak terlalu besar. Ia juga mengakui jika penghargaan orang Indonesia terhadap kerajinan anak negeri masih sangat minim. Kerap kali mereka mencari barang yang lebih murah tanpa memperhatikan teknik pengerjaan.
Di Sweda, Rizal dan ketiga temannya yang masih berusia 20-an tahun ini murni menggunakan metode tradisional yakni dengan bantuan alat tatah, gergaji, dan kikir. Semua cincin dikerjakan secara manual menggunakan tangan tanpa bantuan alat mekanik. "Tempat lain banyak yang pakai mesin cor tapi hasilnya tidak detail," tuturnya.
Ia mengakui, sebagai perajin ia memiliki idealisme tinggi dalam proses berkarya. Ia ingin menyajikan hasil karya yang berkarakter. Hal inilah yang membuat pengerjaan membutuhkan waktu lama dan harga tinggi. Untuk harga lokal Indonesia, ia banderol dengan harga Rp700.000-Rp1,5 juta per cincin. Sementara untuk harga luar negeri minimal Rp1,1 juta.
Sweda baru beroperasi selama satu tahun. Dalam usia yang masih seumur jagung ini, keempat pria muda yang masih duduk di bangku kuliah ini sudah menjadi langganan lima brand luar negeri. Pengiriman dilakukan setiap dua bulan sekali. Sementara untuk promosi dilakukan melalui Instagram.
Satu hal yang ingin mereka capai dari bisnis ini adalah meningkatkan tingkat perekonomian warga Kotagede. Rizal melihat, upah buruh perak di Kotagede masih sangat minim. Namun melalu bisnisnya yang penuh idealisme tinggi ini, setidaknya ia mampu menghasilkan produk bernilai jual tinggi. Dampaknya, upah karyawan yang mereka pekerjakan pun ikut tinggi. Dalam sehari, setidaknya karyawan mendapat upah Rp100.000 dan sudah ada enam tetangga yang mereka pekerjakan.