by Arief Junianto Jibi Harian Jogja - Espos.id Jogja - Kamis, 7 September 2017 - 13:55 WIB
Perusahaan tahan ijazah masih marak dilakukan
Harianregional.com, JOGJA -- Kasus penahanan ijazah tenaga kerja masih marak di DIY. Puluhan perusahaan dari berbagai tingkat dan golongan diduga sengaja menahan ijazah karyawan agar yang bersangkutan tidak meninggalkan perusahaan sebelum kesepakatan kontrak terlampaui.
Baca Juga : Hingga Pertengahan 2017, Jumlah Aduan Perusahaan Tahan Ijazah Tertinggi Kedua Hal itu dibenarkan oleh seorang karyawan salah satu perusahaan kecantikan di DIY. Perempuan yang tak bersedia disebutkan namanya itu mengaku kini tengah bermasalah dengan perusahaan tempatnya bekerja. Salah satu persoalannya memang terkait dengan ijazah.
Ia menjelaskan, ijazahnya memang ditahan oleh perusahaan sebelum dirinya merampungkan kontrak yang disepakati selama dua tahun. Awalnya, ia tak masalah, sebelum akhirnya ia merasa kesejahteraan karyawan mulai diabaikan oleh perusahaan.
"Tidak hanya saya, tapi semua karyawan juga begitu," katanya, Rabu (6/9/2017).
Jika memaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan sebelum batas waktu kontrak yang disepakati, ia diwajibkan membayar sejumlah uang dengan penghitungan besaran gaji terakhir dikalikan sisa bulan yang belum dijalani.
"Saya juga kesal, kalau belum dua tahun, saya dilarang hamil, padahal saya sudah berumah tangga selama lima tahun. Kawan saya juga ada yang mengajukan pengunduran diri, tapi tetap saja, dia malah terkena surat peringatan karena dianggap mangkir," terang perempuan yang berasal dari luar Jawa itu.
Sementara Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY mengakui, persoalan penahanan ijazah itu memang tak diatur dalam Undang-Undang (UU) No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, mengingat ijazah adalah salah satu lembar negara, ia menyarankan kepada perusahaan untuk tidak menjadikan ijazah sebagai jaminan karyawan.
Ia tak menampik, aduan terkait kasus itu cukup banyak. Bulan ini saja, diakuinya ada dua aduan yang masuk ke mejanya.
“Kami tidak bisa masuk lebih jauh dalam persoalan ini. Karena memang tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Kami sifatnya hanya sebagai pengawas dan mediator saja,” katanya.