Perpustakaan Sekolah menghadapi hambatan honor petugas dan ketersediaan ruangan
Harianjogja.com, SLEMAN-Honor dan ketersediaan ruangan masih jadi problem utama bagi pengembangan perpustakaan sekolah di wilayah Sleman. Fasilitas yang tersedia juga dinilai masih jauh dari standar untuk meningkatkan minat baca siswa.
Promosi BRI Dampingi Petani Jeruk Semboro di Jember Terapkan Pertanian Berkelanjutan
Mulat Retno, pengelola perpustakaan SD Krawitan, Ngemplak mengatakan honor yang diterimanya masih jauh dari Upah Minimum Regional (UMR). “Honornya masih sedikit, tidak seberapa,” ujarnya ditemui usai Bimbingan Teknis Pengembangan Perpustakaan Sekolah di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Sleman pada Rabu (5/4/2017).
Padahal, ia juga mengerjakan dua tugas karena merangkap sebagai tenaga Tata Usaha (TU) di sekolah tersebut.
Meski sudah menyampaikan keluhan tersebut kepada pihak sekolah namun sekolah terbentur dengan jumlah dana yang terbatas. Keluhan serupa juga diungkapkan oleh sejumlah peserta kegiatan dalam diskusi yang berlangsung.
Masih banyak pula tenaga pengelola perpusatakaan yang tidak dibekali dengan ilmu yang sesuai sehingga bingung ketika dibebani tanggung jawab tersebut.
Jumlah buku yang tersedia juga dianggap masih terbatas. Selain itu, keberadaan perlengkapan berbasis IT juga belum memadai sehingga masih banyak sekolah yang belum bisa mengakses e-book.
Ayu Laksmi Dewi, Kepala DPK Sleman menyebutkan selain honor, masalah lainnya ialah banyak sekolah yang tidak menyediakan ruang tersendiri bagi perpustakaan. “Padahal sudah ada amanat UU Nomor 43/2007 bahwa harus ada lokal sendiri di semua sekolah untuk perpustakaan,”terangnya.
Terkait jumlah honor, ia menguraikan jika di peraturan yang sama juga menyebutkan jika minimal 5% dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) harus dimanfaatkan untuk kebutuhan perpustakaan termasuk pembiayaan SDM. Menurutnya, masih ada kendala pada komutmen serta pemahaman kepala sekolah masing-masing untuk kebutuhan ini.
Karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan sebagai yang berwenang untuk mencari solusi atas permasalahan ini. Minat baca siswa dinilai sebagai akar dari ilmu pengetahuan sehingga keberadaan perpustakaan harus diperhatikan.
Sayangnya, selama ini masih minim perhatian sehingga kemudian didapatkan fakta jika minat baca Indonesia terendah kedua dari 61 negara berdasarkan hasil survey yang dirilis UNESCO pada 2016.