Esposin, SEMARANG – Gemuruh suara gending membahana di penjuru Gedung Baru Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (13/7/2024) malam. Puluhan pengrawit dan seniman Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo tengah menampilkan pementasan bertema “Kalimasada”.
Malam itu seisi ruangan di Gedung Baru TBRS nampak sesak. Masyarakat sangat antusias melihat pementasan spesial di Hari Ulang Tahun (HUT) ke-87 Ngesti Pandowo.
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Wali Kota Semarang, Hevearita Gunarti Rahayu, mengaku terkejut lantaran tak sedikit kalangan generasi Z yang ikut menonton pertunjukkan wayang orang.
“Selamat ulang tahun Ngesti Pandowo ke-87. Semoga kita masih terus melihat pertunjukkan Ngesti Pandowo yang masih eksis di Kota Semarang,” ucap perempuan yang akrab disapa Mbak Ita ketika memberi sambutan.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap kesenian tradisional. Mbak Ita bakal merenovasi Gedung Ki Narto Sabdo yang selama ini digunakan Ngesti Pandowo pementasan rutin saban Sabtu malam.
“Ini sangat luar biasa di tengah gempuran tren-tren [modern]. Wayang Orang Ngesti Pandowo ini masih bisa eksis, penontonnya sampai penuh,” bebernya.
Kilas Balik Perjalanan Ngesti Pandowo
Eksistensi Ngesti Pandowo mulai menggelar pertunjukkan wayang orang pada tahun 1937. Dulu mereka melakukan pementasan dengan berpindah-pindah di berbagai pasar malam di daerah Jawa Timur.
Ketua WO Ngesti Pandowo, DJoko Mulyono, membeberkan kelompok wayang orang ini didirikan oleh Ki Sastro Sabdo. Pementasan Ngesti Pandowo pertama kali digelar di Madiun.
Pementasan Ngesti Pandowo mendapat sambutan positif dari masyarakat. Tak berselang lama kemudian mereka berhasil menapaki kesuksesan di dunia kesenian tradisional.
Dalam perjalanannya, Ngesti Pandowo sempat vakum lima tahun lamanya. Ketika daerah-daerah di tanah air bergejolak pascakemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Ngesti Pandowo kembali hidup tahun 1950. Tapi mereka memutuskan untuk hijrah ke Jawa Tengah dan mulai pementasan di pasar malam Stadion Diponegoro, Kota Semarang.
“Karena sering pindah-pindah tempat kami ditawari Wali Kota Semarang untuk menetap di Gedung Rakyat Indonesia Semarang [GRIS],” kata lelaki yang akrab disapa Djoko tersebut.
Namun, Ngesti Pandowo menempati Gedung GRIS sebagai tempat pementasan dari tahun 1954-1994. Setelah itu mereka berpindah ke kompleks TBRS sampai sekarang.
Di masa jayanya, Ngesti Pandowo sering kali diundang oleh Presiden Soekarno hingga Seoharto untuk menggelar pementasan wayang orang di Istana Negara. Mereka juga pernah mendapatkan bantuan biaya operasional dari APBD Kota Semarang.
“Biaya operasional sekarang benar-benar mandiri. Alhamdulillah-nya kami masih banyak terima job di luar untuk menopang perekonomian para pemain,” imbuhnya.
Di tengah gempuran modernitas zaman, diakui Djoko, tidak mudah bagi Ngesti Pandowo bisa bertahan sampai sekarang. Salah satu rahasia beradaptasi dengan zaman yakni mempersingkat waktu pementasan.
Jika dulu sekali pementasan Ngesti Pandowo bisa memakan waktu 4-5 jam. Sekarang waktu yang efisien menggelar pementasan wayang orang tidak lebih dari dua jam.
Di usianya yang hampir mencapai satu abad, Ngesti Pandowo menggaungkan sebuah tagline “Kami Masih Ada”. Tagline itu seolah menggambarkan bahwa kelompok wayang orang paling legendaris di Kota Semarang itu masih eksis.
“Buat judul ceritanya, kita ambil dari kisah yang banyak digemari masyarakat. Kita juga memasang LCD di Gedung Ki Narto Sabdo untuk menampilkan sinopsis dan jalannnya cerita,” pungkasnya.