Ketua Paguyuban Perajin Gerabah Kasongan Bantul, Jogja, Timbul Rahardjo kepada Harian Jogja, Selasa (11/9) menuturkan, beragamnya permintaan pasar akan desain dan motif gerabah memaksa perajin berkreasi dan berinovasi. Tak cukup hanya desain polos seperti beberapa tahun sebelumnya.
Promosi Kisah Klaster Usaha Telur Asin Abinisa, Omzet Meningkat Berkat Pemberdayaan BRI
Menurut dia, desain gerabah saat ini butuh penyelesaian yang rumit, misalnya dari sisi warna yang beragam serta ukiran. Proses tersebut membutuhkan bahan baku tambahan atau pelengkap yang juga banyak. Mulai dari cat, amplas, kertas dan masih banyak lagi bahan tambahan. Bila dihitung, 50% biaya pembuatan gerabah hanya dihabiskan untuk membeli bahan tambahan yang kebanyakan barang impor.
“Apalagi sekarang banyak produk China yang katanya murah, pada beli barang impor untuk kebutuhan tambahan. Katanya kalau yang asli Indonesia barangnya mahal. Kalaupun itu diproduksi di Indonesia itu industri manufaktur saja bahanya tetap saja impor,” ungkap Timbul.
Banyaknya bahan tambahan yang diperlukan serta mahalnya harga memaksa pedagang menaikan harga jual. Kenaikan harga dipastikan bakal mengurangi permintaan konsumen akan komoditi ini. “Kalau margin keuntungan tetap sama 10-15%, cuma kalau harganya naik jelas permintaan berkurang. Bagaimanapun harga harus naik, contohlah harga gerabah mentah cuma Rp100.000 harga bahan tambahanya bisa Rp200.000,” ungkapnya.(ali)