Penataan Kota Jogja diharapkan tetap berbasis semangat keistimewaan.
Harianjogja.com, SLEMAN—Maraknya pembangunan dianggap membuat Joga makin tidak ramah. Bahkan, Keistimewaan Jogja bisa hilang karena persoalan itu.
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Dosen Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik (FT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Suryanto, mengatakan revitalisasi sangat dibutuhkan Jogja, khusunya untuk mengambalikan fungsi tata ruang kota yang amburadul. Menurutnya konsep keistimewaan tata ruang Jogja saat ini tidak jelas, meski sudah diatur dalam Undang-undang (UU) No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY.
“Harusnya induk tata ruang keistimewaan adalah teks yang ada di buku Negarakertagama. Tentu saja hal ini bukan lantas mengubah Jogja dijadikan seperti yang ada pada zaman Majapahit, tentu sudah tidak relevan lagi. Tapi spiritnya harus berdasarkan itu,” kata Suryanto yang menulis disertasi Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogakarta.
Kesulitan mengembalikan tata ruang sebagaimana termaktub dalam buku Negarakertagama adalah dahulu jalan hanya untuk upacara, jalan kereta kerajaan, ritual dan hal-hal penting lainnya.
“Dulu, penduduk bisa jalan lewat mana saja, sebab masih banyak tegalan. Kalau sekarang ingin membuat kota seperti di dalam buku Negarakertagama tegalannya sudah tidak ada. Jalan yang dulu hanya untuk ritual sudah jadi jalan umum,” kata Suryanto.
Menurut Suryanto, penanda keistimewaan Jogja dalam tataran konsep adalah struktur poros monumental Tugu-Kraton-Panggung Krapyak serta Struktur Mandala Masjid Pathok Negoro. Kemudian pola ruang kampung-kampung prajurit Kraton. Adapun keistimewaan tata ruang diwujudkan di kawasan Jeron Beteng.
“Lihat saja mahakarya HB I itu. Ada di Jeron Benteng. Di sana sudah terlihat siapa yang boleh singgah, contohnya daerah Gamelan atau daerah Gamel, di sana tempatnya orang yang mengurusi kuda kerajaan,” kata Suryanto.
Lebih jauh Suryanto menjelaskan lagi, tata ruang di dalam kompleks Kraton mengandalkan pembangunan kota berbasis budaya. Hal ini dikembangkan Pangeran Mangkubumi hingga ke selatan Kraton. Di sana ada Panggung Krapyak dan beberapa kawasan yang hanya bisa ditempati orang-orang yang memiliki keahlian sesuai nama kawasan itu.
“Di bagian Utara memang di buat kosong atau menjadi pekarangan. HB I menyediakan bagian utara untuk ditempati siapa saja para pendatang baru. Dulu bagian Utara dibiarkan kosong dan baru dibangun pada jaman Belanda, Kota Baru jadi perumahan Belanda,” kata Suryanto.
Namun konsep pembangunan kota saat ini, justru dikembangkan lewat pengetahuan modern yang berbasis pada pengetahuan negara-negara barat. Dia berpendapat apabila sejarah dan budaya menjadi haluan pembagunan, keistimewaan tata ruang Jogja akan tetap lestari.
“Tapi jika ekonomi menjadi haluan, selamat tinggal keistimewaan. Semua itu kembali ke rakyat Mataram sendiri, mau atau tidak?,” pungkas Suryanto.
Suryanto mengaku spirit yang harus dipertahankan dari tata ruang adalah semangat kebersamaan. Contohnya, tidak membawa kendaraan pribadi masuk ke Jl. Malioboro.
“Kalau mau Malioboro tidak macet, Malioboro disediakan kendaraan umum. Semua kendaraan pribadi berada di luar kawasan Malioboro. Nah sekarang pemerintahnya siap tidak menyediakan kendaraan umum dan lahan parkirnya?” kata Suryanto.
Suryanto menambahkan dulu pernah membuat kajian pada 1980 dan 1990 untuk merenovasi Malioboro. Waktu itu sudah ada alokasi beberapa tempat untuk parkir, kawasannya di luar Malioboro. Namun rencana itu tidak pernah terealisasi dan lokasi yang sudah dirancang sebagai kawasan parkir semuanya jadi gedung.
Menurutnya pembangunan membutuhkan semangat dari ide-ide HB I. Dia mencontohkan Golong Gilig yang bermakna semangat persatuan rakyat dan penguasa. Filosofi itu bisa diterapkan untuk menata kawasan, yakni rakyat mau diatur, saat melintasi Malioboro naik kendaraan umum. Demikian juga dengan penguasa, bisa memberikan fasilitas kendaraan umum dan area parkirnya.