Harianjogja.com, JOGJA—Revitalisasi kompleks Perkantoran Pemda DIY Kepatihan sebagai langkah untuk mempertahankan cagar budaya dinilai cacat prosedur karena belum ada Surat Keputusan Gubernur yang diterbitkan untuk menyatakan kawasan itu sebagai kawasan cagar budaya.
“Mana bangunan inti dan mana daerah yang akan dikembangkan, Gubernur DIY belum pernah mengeluarkan surat keputusan,” ujar Koordinator Masyarakat Advokasi Peduli Budaya (Madya) Jhonanes Marbun, Jumat (4/1/2014).
Promosi 12 Pemain BRI Liga 1 Perkuat Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
Menurutnya, selama ini Kepatihan baru menjadi satu bagian dari kawasan cagar budaya Malioboro dan belum disebutkan secara spesifik batasan-batasan BCB.
Dengan tidak ada kejelasan batas kawasan Kepatihan, menurut dia, revitalisasi pengembalian pintu Kepatihan di sisi selatan yang akan menggusur rumah warga dan pertokoan menjadi rumit. Lanskap yang sudah dibuat pada 2009 oleh Biro Umum, Humas dan Protokol menjadi percuma.
Ia mempertanyakan apakah hanya kepemilikan tanah Kasultanan yang bakal menjadi batasan kawasan itu atau ada batasan lain. Sebagaimana diketahui, tanah kasultanan berada di dalam pagar kompleks Kepatihan yang saat ini dalam proses sertifikasi di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sedangkan di luar pagar adalah berstatus hak milik dan hak guna bangunan warga. Ada yang masih berstatus Sultan Grond, tapi hanya Masjid Quwattul Islam dan Balai RW.