Harianjogja.com, JOGJA-Sejumlah pihak mengkritisi penataan iklan luar ruang di Kota Jogja. Bahkan mereka mengatakan Jogja sudah menjadi hutan reklame, karena hampir di setiap sudut Kota Jogja banyak dipasang reklame. Bagaimana sebenarnya kebijakan Pemkot Jogja dalam menata reklame dan berapa kontribusinya?
Pemkot Jogja melalui Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan berusaha menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) dari iklan. Salah satu yang dilakukan adalah dengan menggunakan media videotron. Sejumlah videotron sudah terpasang di sudut Kota Jogja, seperti di simpang empat Galeria Mal, halaman PT. Telkom Kotabaru, Jl. Kiai Mojo, Jl. Abu Bakar Ali, Jl. Malioboro halaman Dinas Pariwisata serta Jl.Brigjen Katamso depan Jogjatronik. Hanya pemasangan videotron itu dikritisi sejumlah pihak.
Promosi Berkat Pemberdayaan BRI, UMKM Ini Optimalkan Produk Bambu hingga Mancanegara
Pengamat Pariwisata dari Universitas Sanata Dharma Ike Janita Dewi, mengatakan tidak adanya regulasi soal penataan sampah visual menjadi bukti tak seriusnya pemerintah daerah dalam mewujudkan Jogja sebagai heritage city. Menurut Ike Janita Dewi, banyak keluhan datang dari wisatawan banyak sekali, karena Jogja tidak seperti dulu.
“Salah satunya perubahan penampilan fisik,” ujarnya kepada Harianjogja.com, Minggu (26/10/2014).
Ia mengatakan sampah visual berupa billboard ataupun videotron sangat mengganggu nuansa Jogja sebagai heritage city. Hal ini membuat wisatawan tidak memperoleh janji yang ditawarkannya. Mereka hanya mendapatkan sekadar klaim Jogja sebagai heritage city.
Di negara tetangga seperti Seoul, Korea Selatan ataupun Penang, Malaysia yang menyatakan sebagai heritage city, menurut dia, sudah ada pengaturan jelas soal penataan visual. Pemerintahan di sana menjadikan penataan sampah visual sebagai perencanaan yang komprehensif bahkan telah diatur dalam peraturan daerah.
“Kalau di Bappeda sini [DIY] belum sampai pengaturan soal sampah visual,” katanya.
Ia mengaku pernah mengusulkan agar sampah visual itu benar-benar diperhatikan di Titik Nol dan kawasan-kawasan lain yang menjadi magnet wisatawan, tapi belakangan sampah visual justru bertambah di titik-titik menuju kawasan Malioboro.
“Harus ada pengaturan jelas untul atsmosfer pengaturan iklan dan sebagainya, kecuali kalau enggak ada label heritage city,” ujarnya.