Semarangpos.com, SEMARANG — Tanggal 15 Oktober menjadi hari yang bersejarah bagi warga Semarang. Pada tanggal itu, 74 tahun silam, pertempuran besar antara rakyat Indonesia dan tentara Jepang Meletus di Semarang.
Pertempuran yang berlangsung selama 5 hari, 15-19 Oktober itu pun diperingati sebagai Pertempuran 5 Hari di Semarang. Tugu Muda yang berada di pusat Kota Semarang pun dibangun guna memperingati peristiwa bersejarah itu.
Promosi Berkat Pemberdayaan BRI, UMKM Ini Optimalkan Produk Bambu hingga Mancanegara
Namun, tak banyak yang tahu jika ada satu lagi bangunan yang menjadi penanda atau pengingat peristiwa bersejarah itu. Bangunan itu tak lain adalah Monumen Ketenangan Jiwa.
Semarangpos.com berkesempatan mengunjungi monumen yang berdiri di pinggir Pantai Baruna, Kamis (10/10/2019) lalu. Tak seperti monumen bersejarah lain yang terawat, kondisi Monumen Ketenangan Jiwa cukup menyedihkan.
Akses menuju ke monumen itu juga sangat sempit. Jangankan bus pariwisata, kendaraan roda empat berukuran kecil pun sulit menuju ke monumen yang berdiri dari bongkahan batu besar itu.
Tak hanya itu, kondisi jalan yang masih berbentuk tanah dan bebatuan pun membuat akses ke monumen pun terbilang terjal. Kendati demikian, untuk masuk atau menuju monumen, pengunjung harus dikenai biaya Rp3.000 per orang dari petugas jaga yang ada di depan pintu masuk kawasan tersebut.
Suryati, warga yang tinggal di dekat monumen mengatakan Monumen Ketenangan Jiwa selama ini memang sepi pengunjung. Kendati demikian, setiap tahunnya ada turis dari Jepang yang datang ke monumen itu.
“Biasanya turis Jepang yang ke sini itu rombongan. Mereka datang didampingi biksu untuk berziarah. Tahun ini, mereka juga sudah datang, sekitar 2 bulan lalu,” ujar Suryati saat berbincang dengan Semarangpos.com, Kamis.
Korban perang
Monumen Ketenangan Jiwa memang menyimpan sejarah bagi warga Jepang. Monumen itu dibangun warga Jepang yang menjadi pelaku sejarah Pertempuran 5 Hari di Semarang, Aoki Masafumi.
Oleh karena dibangun warga Jepang, monumen tersebut pun banyak beriki ukiran aksara Jepang. Meski demikian, ada juga ukiran dari bahasa Indonesia yang menceritakan kisah atau sisi lain dari peristiwa tersebut.
Kisah itu menceritakan bahwa tidak hanya korban dari Indonesia yang bergelimpangan saat peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang. Ada juga warga Jepang yang menjadi korban, terutama yang kala itu ditahan di Penjara Bulu.
Dalam prasasti di monumen itu, Aoki menulis setidaknya ada 150 warga Jepang yang tewas ketika ditawan di Penjara Bulu. Mereka sebenarnya warga sipil yang sudah mengakui kemerdekaan Indonesia dan ingin kembali ke negara asal.
Namun, mereka keburu ditahan pemuda Semarang yang terlanjur murka karena tewasnya dr. Kariadi. Selama menjalani masa tahanan, banyak warga Jepang yang depresi dan meninggal. Abu warga Jepang yang meninggal itu pun lantas ditabur di Pantai Baruna, tempat monumen itu didirikan.
Monumen yang berdiri 14 Oktober 1998 atau 21 tahun silam itu pun telah diresmikan Wali Kota Semarang kala itu, Soeharto.
Story Teller sejarah Semarang, Jongkie Tio, Jongkie mengaku pernah berbincang dengan Aoki Masafumi yang menggagas berdirinya Monumen Ketenangan Jiwa. Dikatakan, monumen ini dibangun menghadap istana tempat Kaisar Jepang tinggal.
“Memang dibangun di dekat pantai karena orang Jepang percaya, arwah kalau di tempat lapang lebih baik. Tidak terganggu gedung-gedung,” tuturnya.
KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya