Mitigasi bencana di Bantul dianggap belum ramah difabel
Harianjogja.com, BANTUL--Sistem peringatan bencana yang ada di Kabupaten Bantul selama ini dinilai belum berpihak pada para penyandang disabilitas.
Promosi Kisah Klaster Usaha Telur Asin Abinisa, Omzet Meningkat Berkat Pemberdayaan BRI
Pasalnya, piranti peringatan bencana yang ada selama ini hanya berupa sirine saja. Padahal, penyandang disabilitas, khususnya tuna rungu-wicara jelas akan tidak bisa mengakses bunyi yang keluar dari sirine itu.
Suparman, salah satu penyandang disabilitas warga Dusun Tlogo, Desa Kebonagung, Kecamatan Imogiri yang juga merupakan pengurus Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Kebonagung, menegaskan bahwa penyandang disabilitas sejatinya memiliki hak yang sama dalam hal pengurangan resiko bencana. Sayangnya, selama ini hak penyandang disabilitas memang masih kurang terwakili.
“Contohnya, sirine peringatan bencana itu saja. Kalau penyandang disabilitas tuna rungu, mana bisa mendengarnya. Iya, kalau pas terjadi bencana, mereka ada yang mendampingi, la kalau ternyata pas sendirian bagaimana,” katanya saat ditemui di sela-sela simulasi bencana alam yang digelar organisasi internasional asal Jerman yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial dan kebencanaan Arbeiter Samariter Bund (ASB) bersama FPRB Kebonagung dan BPBD Bantul di Balai Desa Kebonagung, Kamis (26/1/2017) siang.
Sebenarnya, keluhan itu sudah kerap ia sampaikan saat dirinya diminta menjadi narasumber di beberapa pelatihan kebencanaan. Namun hingga kini, pihak-pihak terkait sepertinya belum memberikan respon yang positif.
Hal itu dibenarkan pula Ketua FPRB Bantul Heri Ruswanto. Saat dikonfirmasi terpisah, ia mengakui pihaknya kini tengah mengomunikasikan rencana pemfasilitasian sistem peringatan itu agar lebih ramah terhadap penyandang disabilitas di Bantul. Untuk itu, pihaknya akan mengusulkan rencana itu saat digelarnya rapat pleno pekan depan bersama pihak-pihak yang terkait kebencanaan.
“Selama ini sebenarnya sudah sering saya singgung. Tapi entah karena keterbatasan anggaran atau memang pemerintah belum tahu sistem apa yang ramah disabilitas,” katanya.
Sementara dari pihak ASB, Staf Komunikasi Rizma Kristiana menjelaskan, keberpihakan terhadap penyandang disabilitas terkait urusan kebencanaan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Menurutnya, jika dibandingkan dengan sesama pihak penanggung resiko bencana, penyandang disabilitas termasuk yang lebih rentan terhadap resiko tersebut.
Dengan alasan itulah, sepanjang 2013-2015 lembaganya mulai fokus dalam melakukan pendampingan terhadap anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas dalam konteks kebencanaan. Ketika itu, ia berharap pendampingan tersebut dapat melahirkan orang-orang yang tangguh dan tanggap bencana. “Termasuk dari kalangan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Terkait hal itu itu, ia lantas menekankan terhadap pentingnya peran serta masyarakat agar turut memberikan pendampingan terhadap para penyandang disabilitas, terutama saat terjadi bencana.
Di luar itu, ia pun selalu berupaya memberikan motivasi dan pendampingan kepada mereka untuk bisa melakukan penanganan bencana secara mandiri. “Sebatas mereka mampu saja. Karena kondisi masing-masing penyandang disabilitas itu kan berbeda-beda,” katanya.