by Chelin Indra Sushmita Yesaya Wisnu - Espos.id Jateng - Minggu, 26 Desember 2021 - 13:39 WIB
Esposin, DEMAK — Dua wilayah di Jawa Tengah (Jateng) yang mendapat predikat sebagai kota santri ternyata tidak luput dari praktik prostitusi. Kedua wilayah tersebut adalah Kabupaten Demak dan Kudus.
Selama ini Demak disebut sebagai Kota Wali, sementara Kudus merupakan Kota Santri. Kedua wilayah tersebut adalah destinasi wisata religi, bukan hanya di Jateng, tetapi berskala nasional. Setiap tahunnya banyak orang yang bertandang ke Demak dan Kudus untuk melakukan ziarah wali.
Akan tetapi, siapa sangka wilayah Demak dan Kudus itu juga diwarnai dengan bisnis prostitusi. Bisnis esek-esek di sampai saat ini berada di sekitar jalur lingkar Demak-Kudus. Jalur ini merupakan alternatif penghubung antara Demak dan Kudus yang termasuk dalam jalur pantai utara (Pantura).
Baca juga: Prostitusi di Demak, Tarif Mulai Rp25.000 Sekali Kencan
Maraknya prostitusi di kawasan tersebut membuat banyaknya bangunan-bangunan yang meresahkan warga Demak, khususnya warga Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam karena banyak praktik prostitusi dan penjualan minuman keras sementara di lingkungan jalan tersebut banyak berdiri pondok pesantren.
Praktik bisnis prostitusi liar di Demak juga menjamur di Desa Bolo yang ada di Kecamatan Demak yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Lokasi prostitusi ini tepatnya berada di belakang Pasar Jebor di mana di kawasan tersebut banyak bangunan-bangunan liar yang digunakan sebagai tempat pelacuran liar hingga membuat resah warga sekitar.
Baca juga: Lokalisasi Mojodadi Kudus: Mojok Langsung Dadi
Baca juga: 3 Lokalisasi Besar di Solo: Eksis Sejak Zaman Belanda, Dulunya Legal
Lokalisasi Kudus
Kabupaten Kudus di Jawa Tengah yang notabene Kota Santri ternyata sempat memiliki lokalisasi. Wilayah prostitusi tersebut dikenal dengan sebutan Lokalisasi Mojodadi yang terletak di Desa Gribig, Kecamatan Gebog.
Konon, lokalisasi di Kudus itu merupakan salah satu yang terbesar di Jawa Tengah pada erat 1970-an. Para wanita tuna susila (WTS) yang sempat bekerja di sana disebut bukan warga lokal, melainkan pendatang dari Semarang, Jepara, Jakarta, hingga Batam. Kini kawasan tersebut telah ditutup dan lahannya dimanfaatkan sebagai peternakan kambing.
Baca juga: Kudus Kota Santri Ternyata Punya Lokalisasi Legal
Ada cerita unik di balik nama lokalisasi ini. Hal itu disampaikan Sekretaris Desa Gribig, Kamal. “Dulu itu namanya Mojodadi, ya singkatan kalau mojok langsung dadi (jadi,red),” kata Kamal pada November 2021, seperti dikutip dari Murianews.com, Kamis (23/12/2021).