Esposin, SEMARANG - Masa penjajahan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, tidak hanya membuat sengsara warga pribumi. Bangsa atau warga sipil Eropa yang berada di Indonesia pun turut terkena imbas dengan diasingkan ke sejumlah kamp interniran atau pengasingan, termasuk di Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Setidaknya ada lima kawasan permukiman di Semarang yang menjadi kamp interniran buatan Jepang yang diperuntukan bagi warga sipil Eropa. Kamp itu tersebar di sejumlah lokasi antara lain Gedangan, Bangkong, Karangpanas, Halmahera, dan Lampersari.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Pemerhati Sejarah Kota Semarang, Mozes Christian, menyebut Jepang mulai memanfaatkan area perkampungan menjadi kamp interniran atau kamp pengasingan sekitar 8 November 1942. Ada dua alasan mengapa Jepang mendirikan kamp interniran tersebut.
“Jadi orang-orang yang tinggal di kamp interniran itu bukan tahanan perang. Tapi mereka dianggap musuh, sehingga ditempatkan di kamp supaya gerak-geriknya mudah diawasi," ujar Mozes saat berbincang dengan Esposin, Kamis (15/7/2024).
Alasan lain didirikannya kamp pengasingan itu karena Jepang tengah menjajah Indonesia. Jepang membawa misi propaganda lewat budaya sehingga ingin memisahkan pengaruh orang-orang Eropa kepada pribumi atau bangsa Indonesia.
Bangunan Sekolah
Khusus di kamp interniran atau pengasingan Lampersari Semarang, pongsari, Mozes menceritakan kawasan itu dulunya merupakan perumahan rakyat yang diperuntukkan bagi pegawai yang bekerja di pemerintahan Hindia-Belanda. Jepang kemudian memasang kawat berduri yang mengelilingi area perumahan tersebut.Lelaki lulusan UKSW Salatiga tersebut menambahkan jejak kamp interniran Lampersari masih bisa ditemui saat ini. Bangunan peninggalan itu antara lain menjadi bangunan sekolah seperti SMPN 37 Semarang, SMPN 39 Semarang, dan sebuah bengkel.
Selama hampir 3,5 tahun terdapat sekitar 8.000 warga sipil Eropa yang tinggal di kamp pengasingan Lampersari Semarang. Mayoritas penghuni merupakan perempuan dan anak-anak.
“Waktu awal-awal Jepang membuat kamp interniran Jepang itu mengelabui orang Eropa dengan menyebar narasi orang-orang Indonesia bakal balas dendam ke kamu. Orang sipil Eropa kemudian mengira tempat yang dibuat Jepang sebagai perlindungan bagi mereka,” jelasnya.
Kehidupan di kamp interniran Lampersari semula berjalan normal. Tapi ketika pucuk pimpinan kamp diambil alih militer Jepang, mereka semakin sengsara karena diperlakukan layaknya tahanan perang.
“Setelah tahun 1943 mereka diperlakukan sama dengan tahanan perang. Seperti diminta apel pagi, bersih-bersih dan berkebun. Situasinya di kamp semakin ketat dan banyak orang yang meninggal dunia karena kekurangan pasokan makanan,” ungkapnya.
Napak Tilas
Sementara itu, seorang guru SMPN 39 Semarang, Sri Suwandono, 54, mengaku hampir setiap tahun sekolahannya dikunjungi warga Belanda, yang mengaku pernah tinggal di kamp interniran Lampersari. Bahkan Dono, sapaan karib Sri Suwandono, seringkali menemani orang-orang Belanda yang mengunjungi SMPN 39 Semarang. Dia memperkirakan orang-orang Belanda mulai sering berkunjung ke sekolahnya sekitar tahun 1990-an.
“Terakhir orang-orang Belanda ke sini bulan Juni kemarin ada satu keluarga. Terutama anak atau cucunya ingin napak tilas kejadian yang pernah dialami kakek dan neneknya,” imbuhnya.
Guru mata pelajaran bahasa Inggris itu pun mengaku bentuk bangunan SMPN 39 Semarang belum banyak berubah atau masih sama dengan saat menjadi kamp pengasingan. Bangunan kuno yang belum berubah itu antara lain ruang guru, ruang bimbingan konseling (BK), UKS, gudang olahraga hingga perpustakaan. Ruang guru di sekolah ini dulunya merupakan bekas kantor pusat administrasi kamp interniran Lampersari.
“Jadi dulu di satu lingkungan Jalan Mangga, SMPN 37 dan SMPN 39 itu merupakan sebuah dapur umum, rumah sakit, dan penjara. Orang-orang sipil Eropa kehidupannya terus dipantau tentara Jepang,” ungkapnya.
Dono tak mengetahui secara persis kapan bekas kamp pengasingan Lampersari beralih menjadi sekolahan. Sebelum SMPN 39 berdiri, tempat itu pernah difungsikan sebagai sekolah ST Negeri 2 tahun 1950 dan SLTP Negeri 39 tahun 1994.
“Demi keamananan siswa di sini, ada bangunan-bangunan yang memang telah direnovasi, seperti atap sekolah yang sudah lapuk,” ujarnya.