Esposin, SEMARANG — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam adanya tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian ketika unjuk rasa atau demo penolakkan revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) keos di Gedung DPRD Jawa Tengah (Jateng), Kamis (22/8/2024).
Sebelumnya, jalannya unjuk rasa yang dipelopori Gerakan Rakyat Menggugat berjalan tertib. Namun unjuk rasa yang dihadiri ribuan mahasiswa berakhir ricuh atau chaos lantaran massa ingin masuk ke Gedung DPRD Jateng.
Promosi BRI Klasterku Hidupku Dorong Pemberdayaan Perempuan lewat Usaha Tani di Bali
Situasi semakin tak kondusif setelah pihak kepolisian mengerahkan water cannon dan melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan secara paksa massa aksi.
Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan, mengaku mendapat banyak laporan mahasiwa yang ikut unjuk rasa mengalami luka-luka seusai polisi menembakan gas air mata.
Aris sapan akrab Aris Mulyawan mendata ada sekitar 26 mahasiswa yang terluka maupun mengalami sesak nafas akibat gas air mata. Bahkan ada salah satu anggota AJI Kota Semarang yang sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang.
“Sebanyak 18 orang termasuk anggota AJI Semarang dan pers mahasiswa menjadi korban saat peliputan sehingga harus dirawat di rumah sakit,” ucap Aris kepada Espos.id, Kamis (22/8/2024).
Berdasarkan data AJI Semarang, ada 15 orang yang harus menjalani perawatan di RS Roemani Muhammadiyah Semarang, 1 orang di RS Pandanaran, 1 orang di RSUP dr Kariadi, dan 1 orang di RS Tegalrejo.
Aris juga mendorong media massa dan seluruh insan pers terus mengawal dinamika politik di Tanah Air. Sebagai pilar demokrasi, jurnalis memiliki kewajiban menjaga demokrasi.
“Berkali-kali pemerintah melakukan penyimpangan kekuasaan dalam proses legislatif. Terbaru, mereka berupaya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi [MK] terkait Pilkada," ujar Aris.
Dirinya khawatir jika revisi UU Pilkada disahkan, bukan tidak mungkin kedepan kebebasan pers akan dibatasi.
“Pers dan jurnalis tidak boleh lagi melunak pada upaya-upaya kekuasaan yang hendak melumpuhkan demokrasi. Bila putusan MK bisa dianulir dalam sekejap, bukan tidak mungkin Undang-Undang yang menjamin kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan berekspresi, akan dilucuti," resahnya.