Esposin, SOLO – "Jika saya pergi mengungsi, lalu siapa yang mengurus tempat ini [Gunung Merapi]," kata Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi sesaat sebelum meninggal akibat erupsi pada 26 Oktober 2010. Sampai saat ini, kisah cinta Maridjan dan Gunung Merapi menjadi cerita yang selalu menarik untuk dikenang.
Pria kelahiran 5 Februari 1927 itu merupakan juru kunci Gunung Merapi sejak 1982 menggantikan ayahnya. Sebelumnya dia mendampingi sang ayah menjadi wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci. Sebagai juru kunci, kehidupannya dihabiskan di gunung. Sejak kecil sampai akhir hayat, dia senantiasa membersamai Merapi dalam kondisi apapun. Sampai akhirnya jasadnya ditemukan setelah Gunung Merapi meletus pada 26 Oktober 2010, lantaran bersikeras tidak mau mengungsi. Konon ada yang menyebut jasadnya ditemukan dalam posisi bersujud.Romantisme Mbah Maridjan & Gunung Merapi
Dalam tulisan berjudul Manusia Sejati dalam Falsafah Mbah Maridjan dan Abdul Karim Al Jill, M Baharudin dari Fakultas Islahudin IAIN Raden Intan Lampung, menjelaskan jika sejak lahir hingga wafat, Maridjan hanya bermukim di satu tempat, yakni Gunung Merapi. Secara emosional, ia merasa memiliki kedekatan dengan Gunung Merapi dan secara kultural, Mbah Maridjan menjalankan tirakat dan percaya bahwa Gunung Merapi dikuasai yang ia sebut Bahureksa.
Sudah Langganan ? Login
Lanjutkan Membaca...
Silakan berlangganan untuk membaca artikel ini dan dapatkan berbagai konten menarik di Espos Plus.