Esposin, SLEMAN – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Daerah Istimewa Yogyakarta akan mengirimkan nota pemeriksaan pada kafe di Kabupaten Sleman yang menggaji rendah karyawan serta menerapkan 12 jam kerja. Pemilik kafe harus mematuhi nota pemeriksaan tersebut.
Kabid Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Disnakertrans DIY, Amin Subargus, mengatakan pihaknya telah memberikan nota pemeriksaan kepada pemilik kafe di Sleman tersebut. pemilik kafe harus mematuhi nota pemeriksaan itu, jika tidak patuh akan dilakukan pada peringatan kedua.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
“Besok Senin kami kirimkan nota pemeriksaannya,” ujarnya, Minggu (22/9/2024).
Nota pemeriksaan tersebut berisi poin-poin yang harus diperbaiki oleh perusahaan. Pihaknya juga akan memonitor pelaksanaan nota pemeriksaan tersebut. Apabila tidak dipatuhi, maka akan diberikan peringatan kedua.
“Kalau nota satu ga dipenuhi, kami beri peringatan kedua. Kalau tidak patuh juga baru langkah hukum,” ungkapnya.
Adapun berdasarkan pertemuan dengan pemilik kafe di Kantor Disnakertrans DIY, pemilik kafe telah mengakui semua yang disebutkan oleh pelapor, yakni menerapkan shift 12 jam kerja, membayar gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sleman dan tidak mengikutsertakan karyawan dalam BPJS.
Dalam pertemuan tersebut, secara lisan pemilik kafe menyanggupi untuk patuh memberikan hak-hak pekerja sesuai peraturan yang berlaku.
“Pemberi kerja mengakui, kemudian meyanggupi mematuhi semua aturan ketenagakerjaan,” paparnya.
Pelapor di platform Lapor Sleman yang merupakan salah satu pekerja di kafe tersebut, mengatakan setelah adanya pemeriksaan, manajemen kafe sudah mengembalikan sistem shift delapan jam. Manajemen juga dikabarkan akan menaikkan gaji pekerja.
“Mulai tanggal 26 gaji teman-teman naik,” katanya.
Ia mengaku selama penerapan 12 jam kerja, banyak dampak negatif yang dirasakan. Pada dirinya sendiri berpengaruh pada jam tidur yang sangat berkurang. Sementara pada pekerja lain hal ini berdampak sampai pada membahayakan keselamatan di jalan sebanyak tiga orang.
“Dia pulang shift habis 12 jam itu, kecelakaan. Semenjak diberlakukannya 12 jam itu. Soalnya sebelumnya alhamdulillah ga ada kayak gitu. Tiga orang, kecelakaan semua setelah ngeshift. Yang pertama luka ringan, yang kedua lumayan parah, tangannya dapat tujuh jahitan,” ungkapnya.
Pada penggajian, ia mengaku pernah hanya menerima sekitar Rp650.000 sebulan. Hal ini disebkan dari gaji bersihnya Rp1,1 juta, dipotong poin pelanggaran dan kasbon sebesar Rp500.000.
“Pelanggaran keterlambatan sangat ketat, setiap 10 menit dikurangi Rp10.000,” paparnya.
Banyak pekerja juga terpaksa mengambil kasbon untuk menutupi kebutuhan sehari-hari lantaran kecilnya gaji yang diberikan. Sebagai perbandingan, UMK Sleman pada 2024 sebesar Rp2,3 juta, dua kali lipat dari gajinya.
“Jadi kasbon itu menjerat kami, untuk memenuhi kebutuhan,” tuturnya.