Harianjogja.com, JOGJA-Sejumlah halte Trans Jogja menempati trotoar. Peletakan halte di trotoar sendiri dikarenakan keterbatasan lahan bagi pengelola.
Promosi BRI Dampingi Petani Jeruk Semboro di Jember Terapkan Pertanian Berkelanjutan
Riski Budi Utomo, Kepala Seksi Sarana Prasarana UPT Trans Jogja mengataka, hal itu tidak perlu terjadi jika pemilik lahan merelakan areanya digunakan sehingga akses pejalan kaki tetap terpenuhi. Lebih lanjut, ia menyebutkan halte dan trotoar yang ideal adalah seperti yang saat ini ada di Malioboro baik dari segi luasan maupun penunjangnya.
"Dengan lebar segitu kan kalau mau kasih halte yang besar juga tidak masalah," katanya kepada Harianjogja.com, Kamis (25/1/2018).
Akses bagi penyandang disabilitas berupa guiding block yang ada di trotoar bisa diarahkan ke halte Trans Jogja langsung sehingga bisa mengakses angkutan publik ini. Upaya untuk seminimal mungkin menggangu fungsi trotoar, tambahnya, juga dilakukan dengan pengadaan halte mini yang hanya berupa tangga belaka.
Hal ini sekali lagi dikarenakan keterbatasan lahan yang tidak memungkinkan dibuat halte berukuran besar. Kelemahannya adalah halte mini ini tidak ramah bagi pengguna yang merupakan penyandang disabilitas.
Buka mata : UPT Trans Jogja Bakal Evaluasi Halte di Trotoar
Kritik soal halte Trans Jogja yang menggangu fungsi trotoar mengemuka dalam diskusi publik yang digelar Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY beberapa waku lalu. Selain masyarakat dan pihak swasta, pemerintah dinilai ikut berpartisipasi dalam malfungsi trotoar salah satunya dengan menghilangkannya untuk dijadikan halte bus.
Budhi menjelaskan jika pemerintah ikut berkontribusi salah satunya dengan menjadikan trotoar sebagai tempat pot bunga, halte maupun menghilangkan areal pejalan kaki itu dengan adanya pelebaran jalan. Di sisi lain, pembiaran kerap terjadi sehingga ada kesan pemerintah tutup mata atau secara informal mengizinkan penyalahgunaan itu. "Pemerintah sendiri tidak cukup responsif terhadap hal seperti ini,” katanya.