Esposin, NGAWI – Para petani di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Jatim) menjerit akibat tanaman tembakau siap panen miliknya terancam gagal panen. Hal itu menyusul banyaknya tanaman tembakau yang kondisinya rusak akibat diguyur hujan beberapa hari terakhir.
Kondisi ini terlihat di daerah penghasil tembakau terbesar di Kabupaten Ngawi yakni di Kecamatan Karangjati. Ratusan hektare tanaman tembakau itu nampak layu dan menguning bahkan sebagian banyak yang mati.
Promosi Berlimpah Hadiah, BRImo FSTVL Hadir Lagi untuk Pengguna Setia Super Apps BRImo
Diketahui di Kecamatan Karangjati total luasan lahan tembakau mencapai 500-an hektare. Rata-rata tanaman tembakau yang ditanam itu baru berusia 2,5 bulan dan baru dua kali panen.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Ngawi, Sojo, menjelaskan tingkat kerusakan tembakau imbas intensitas hujan tinggi saat ini sudah mencapai 30% dari luas tanaman lahan yang ditanami tembakau. Dikhawatirkan jika hujan kembali turun maka luasan lahan terdampak akan semakin bertambah.
“Untuk wilayah Karangjati yang tersisa maksimal 40%, sementara di daerah lain kerusakannya 25% sampai 30%. Kondisi ini disebabkan lahannya terendam air selama tiga hari berturut-turut yang menyebabkan akar tembau busuk, sehingga daun layu dan menguning,” ujar Sojo sembari memperlihatkan tanaman tembakaunya yang mulai menguning, Selasa (1/10/2024).
Mirisnya, kondisi ini terjadi saat tembakau itu sudah mulai memasuki masa panen. Selain itu harga jual tembakau juga sedang melejit naik. Harga satu kilogram tembakau kering bisa mencapai Rp45.000 sampai Rp48.000.
“Ini rata-rata yang mati sudah petik kedua dan ketiga. Para petani itu megeluh lantaran harga jualnya juga sedang tinggi-tingginya,” imbuhnya.
Dengan kondisi seperti itu, para petani memilih untuk memaksakan panen lebih dini. Selain untuk meminimalisir kerugian, juga untuk mengejar harga yang sedang tinggi. Meski demikian, tembakau yang mengalami kerusakan itu juga menurun kualitasnya.
“Untuk mensiasatinya para petani memilih memaksakan panen meskipun kualitasnya tidak bagus dan tentu berpengaruh ke harga,” tandanya.
Sementara itu, Yatmun salah satu petani tembakau mengungkapkan, jika dalam kondisi normal dirinya mampu meraup penghasilan hingga Rp70 juta per hektare. Namun dengan kondisi seperti ini dirinya mengaku hanya bisa mendapatkan uang Rp35 juta. Angka itu merupakan ongkos untuk modal tanam, pembelian bibit, pupuk, dan ongkos pekerja.
“Harusnya kalau normal bisa mencapai Rp60 juta-Rp70 juta per hektarenya, musim ini balik modal saja sudah bersyukur,” ungkapnya ditemui di salah satu lahan tembakau di Kecamatan Karangjati, Selasa.
Yatmun mengaku, modal untuk tanam tembakau itu ia peroleh dari hasil meminjam ke bank. Jika tanaman tembakau miliknya tidak segera dipaksakan panen maka dikhawatirkan ia akan merugi lebih banyak dan tidak bisa mengembalikan pinjaman.
“Kita ini hutang di bank jagain dari tembakau hasilnya kayak gini, layu dan mati. Jika dipaksa panen hasilnya paling 30 persen,” tandasnya.