Harianjogja.com, JOGJA—Masyarakat yang tergabung dalam aliansi rakyat menolak penggusuran (ARMP) menolak pengesahan peraturan daerah keistimewaan (perdais) yang mengatur soal tanah Kasultanan dan Kadipaten.
Promosi Dukung Perkembangan Industri Kreatif, BRI Gelar Kompetisi Creator Fest 2024
Menurut mereka, Sultan Grond (SG) dan Pakualam Grond (PAG) sebenarnya sudah tidak ada.
Koordinator ARMP Watin, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII sudah menghapus SG/PAG pada 1984 lewat Perda DIY No3/1984. “Perda tersebut merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 33/1984 dan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria),” ujarnya, Selasa (24/9/2013).
Sekalipun Kraton dan Pakualaman telah diakui menjadi subyek hak atas tanah kasultanan dan Kadipaten dalam Undang-undang Keistimewaan DIY, Watin menganggap tidak lantas hal itu bisa menghapus titah HB IX dan PA VIII.
“Titah itu berbunyi, ‘Hak memakai turun temurun dengan sendirinya menjadi hak milik sebagaimana diatur dalam pasal 10 Perda 5/1954.’” jelasnya.
Menolak pengaturan SG/PAG tersebut, ARMP menggelar aksi di DPRD DIY, Selasa (24/9). Mereka membawa spanduk besar bergambar foto HB IX.
Mengadopsi slogan orde baru yang belakangan ini marak, spanduk itu bertuliskan : Enam Jamanku To? Mbiyen Lemah SG/PAG Wis Tak Bagi Nganggo Perda No3/1984. Saiki Kok Arep Dirampas Ojo Gelem Yoh!!!
Aksi itu dilakukan bertepatan dengan peringatan hari terbitnya UUPA, 24 September.
Watin mengatakan, warga ARMP menyesalkan UUPA yang seharusnya berlaku penuh di Indonesia tidak dipakai DIY sejak 3 September 2012, sehingga tanah negara dan jaminan hak milik atas tanah bagi warga DIY dihapuskan. Terlebih jika dikeluarkan perdais, ketenangan warga justru terusik.
“Tanah- tanah yang tidak memiliki sertifikat dan hanya memiliki letter C dapat diambil alih Kasultanan dan Kadipaten,” ulasnya.